KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham berdividen tinggi bisa jadi pilihan bagi investor yang fokus untuk investasi jangka panjang. Selain itu, saham dengan dividen tinggi juga bisa dipilih di tengah volatilitas pasar. Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI), kinerja IDX High Dividen 20 (HIDIV20) sebenarnya terkoreksi dalam di tahun 2024. Kinerja indeks ini turun 10,94% sepanjang tahun lalu. Sementara, kinerja IDX High Dividend 20 masih terkoreksi 4,22% secara
year to date (YTD) per perdagangan Selasa (14/1) kemarin.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik mengatakan, dalam pemilihan saham yang masuk dalam Indeks HIDIV20 ada beberapa faktor yang dipertimbangkan. Yaitu, membagikan dividen dalam tiga tahun terakhir, besaran imbal hasil dividen
(dividend yield), nilai transaksi, dan kapitalisasi pasar free float. “Faktor-faktor tersebut memiliki bobot yang berbeda, sehingga bisa saja ada saham yang
dividend yield relatif kecil, tetapi faktor lain memiliki nilai yang cukup bagus,” kata dia, Selasa (14/1).
Baca Juga: UNVR Bakal Bagikan Hasil Penjualan Bisnis Es Krim ke Investor dan Rekomendasi Analis Menurut Jeffrey, tidak ada strategi khusus dari BEI dalam mengevaluasi IDX HIDIV20 di akhir Januari 2025. Sebab, pemilihan saham yang masuk dalam konstituen indeks, termasuk indeks HIDIV20, mengacu ke Manual Indeks dan SOP yang berlaku. Untuk menjaga agar indeks dapat diterima oleh pelaku dan sesuai dengan perkembangan pasar, BEI juga secara rutin melakukan review atas kriteria-kriteria yang ada. “Kriteria utama dalam mengevaluasi saham di akhir Januari nanti adalah emiten membagikan dividen dalam tiga tahun terakhir. Saat ini, dengan menggunakan data terakhir, terdapat lebih dari 200 emiten yang membagikan dividen 3 tahun terakhir,” paparnya. Saat ini, konstituen IDX HIDIV20 adalah PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (
ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (
ITMG), PT Bukit Asam Tbk (
PTBA), PT Astra International Tbk (
ASII), PT United Tractors Tbk (
UNTR), PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI). Lalu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (
BBNI), PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (
INDF), PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA), dan PT Kalbe Farma Tbk (
KLBF). Kemudian, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP), PT Semen Indonesia Persero Tbk (
SMGR), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (
AMRT), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (
INKP), PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (
TPIA), dan PT Barito Pacific Tbk (
BRPT).
Baca Juga: Saham Big Cap Perbankan Kian Menarik Saat Harga Turun, Cek Rekomendasi Analis Head of Proprietary Investment Mirae Asset, Handiman Soetoyo melihat, IDX High Dividen 20 sebenarnya sudah tak terlalu relevan lagi untuk dilihat dalam memilih saham dengan dividen yang tinggi. Sebab, dari 20 emiten, hanya delapan emiten yang tercatat memberikan
dividend yield tinggi untuk tahun buku 2024. Yaitu, ADRO yang sebesar 73,6%, ITMG 16,3%, PTBA 15,2%, ASII 10,1%, UNTR 9,9%, ANTM 8,3%, BBRI 5,6%, dan BMRI 5,3%. Sementara, ada delapan emiten yang bahkan tercatat memiliki
dividend yield kecil. Yaitu, BBCA yang sebesar 2,8%, KLBF 2,1%, ICBP 1,7%, SMGR 1,4%, AMRT 1,1%, INKP 0,6%, TPIA 0,1%, dan BRPT 0,1%. “Terkait penurunan kinerja indeks, hal itu karena semua saham memang mengalami penurunan kinerja sejak tahun lalu,” ujarnya saat ditemui Kontan di Jakarta, Selasa (14/1). Handiman mencatat, nilai dividen yang dibagikan perusahaan tercatat di BEI tahun buku 2024 mencetak rekor tertinggi sepanjang masa Rp 364,2 triliun, naik 1,9% secara tahunan alias
year on year (YoY). Nilai dividen Rp 364,2 triliun yang dibagikan pada 2024 tersebut mencakup dividen tahun buku 2023, termasuk dividen interimnya. “Untuk musim dividen, puncak musim dividen setiap tahunnya jatuh pada Maret-Juni dan di sepanjang kuartal IV,” paparnya.
Baca Juga: Investor Asing Gencar Lepas Saham Big Four, Ini Penjelasan Analis Sepanjang 2024, sektor keuangan dan energi menjadi dua sektor favorit. Kontribusi dividen terbesar tahun lalu berasal dari ADRO, BBRI, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). “Hal ini mengonfirmasi kedua sektor tersebut masih menjadi sektor yang paling menarik bagi investor yang mengincar dividen,” ungkapnya. Tahun lalu, jumlah perusahaan tercatat yang membagikan dividen juga semakin meningkat, yaitu 342 perusahaan. Jumlah itu naik dari 323 perusahaan pada 2023 seiring dengan bertambahnya emiten baru di pasar saham. Meskipun naik secara jumlah, rasio perusahaan pembagi dividen dengan total perusahaan yang
listing di bursa turun, yaitu 38,3% pada 2024, dari 39,4% pada 2023. Itu seiring dengan lebih sedikitnya perusahaan tercatat baru yang membagikan dividen. Pada 2024, ADRO dan BBRI menyandang predikat sebagai emiten pembagi dividen terbesar dari sisi nilai, masing-masing Rp 54,4 triliun dan Rp 48,1 triliun. Dari sisi imbal hasil dividen
(dividend yield), emiten pembagi dividen terbesar adalah ADRO sebesar 49,4%, PT Golden Energy Mines Tbk (
GEMS) 20,5%, dan PT Baramulti Suksessarana Tbk (
BSSR) 19,8%.
Baca Juga: Menakar January Effect yang Makin Memudar, IHSG Tergerus ke Bawah 7.000 Dengan setoran dividen yang besar dari BBRI beserta dividen perusahaan-perusahaan BUMN lain, setoran dividen perusahaan pelat merah ke pemerintah hingga November 2024 telah melebihi target, yaitu senilai Rp 86,4 triliun. Dari jumlah tersebut, perusahaan BUMN yang sahamnya tercatat di bursa berkontribusi sebanyak 68,6% dari total dividen yang disetorkan kepada kas negara. Secara sektoral, BUMN perbankan masih dominan dengan kontribusi 57,4%. “Mengingat target penerimaan dividen BUMN 2025 yang masih meningkat, yaitu Rp 90 triliun, kami meyakini BUMN yang listed akan tetap memberikan dividen yang besar tahun ini,” ungkapnya. Handiman menuturkan, total dividen perusahaan penghuni Bursa saham ditargetkan sebesar Rp 322,4 triliun di tahun 2025, turun 11,4% dari tahun lalu. Alasannya, ada kejadian yang di luar kebiasaan pada tahun lalu. Terutama, dari dividen spesial PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (
ADRO) senilai Rp 41,53 triliun. “Perusahaan-perusahaan berdividen tinggi tersebut berpotensi kembali menawarkan dividen yang menarik tahun ini, terutama berkaca pada catatan historis pembayaran dividen tahun lalu,” paparnya. Di tahun 2025, setidaknya ada 80 saham yang dapat menjadi pilihan yang baik untuk mendapatkan keuntungan investasi ketika pasar saham penuh ketidakpastian tahun ini. “80 saham perusahaan berdividen tinggi itu tersebar di seluruh sektor usaha yang ada di bursa, kecuali sektor properti. Namun, sektor yang paling menarik di tahun ini masih dari keuangan dan energi,” ungkapnya Dari 80 saham tersebut, kata Handiman, ada lima saham utama yang bisa dipilih investor. Yaitu, PT BPD Jawa Timur Tbk (BJTM), BBRI, PTBA, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), dan PT Trans Power Marine Tbk (TPMA).
Baca Juga: Saham Bank Jumbo Tertekan, Begini Prospeknya Head of Investment Specialist PT Maybank Sekuritas Indonesia, Fath Aliansyah Budiman melihat, pergerakan negatif yang terjadi pada IDX High Dividend 20 sejak awal tahun 2025 dikarenakan beberapa saham yang memiliki bobot terbesar mengalami penurunan. Misalnya, ada BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, TLKM dan ASII. Total bobot enam saham tersebut dalam IDX High Dividend 20 mencapai 73,1% untuk periode November 2024 sampai Februari 2025. Penurunan pada saham-saham yang tergolong
blue chips tersebut korelasinya cukup tinggi dengan pergerakan nilai tukar. Sebab, penguatan indeks dolar Amerika Serikat (AS) juga membuat asing cenderung menjual sejumlah saham tersebut. “Selama belum ada pembalikan arah secara tren untuk indeks dolar AS dan imbal hasil obligasi di AS masih tergolong tinggi, minat asing untuk masuk ke negara berkembang seperti Indonesia akan cenderung minim,” paparnya. Alhasil, Fath belum memberikan rekomendasi dari konstituen IDX High Dividend 20.
Baca Juga: Duit Asing Kabur, Rupiah Ambruk, Bursa Saham Tersungkur Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan melihat, penurunan kinerja IDX High Dividend 20 disebabkan maraknya aksi jual asing dari saham-saham tersebut. Khususnya, pada saham big banks, TLKM, dan ASII. “Investor asing sepertinya melihat outlook pemangkasan Fed Rate yang lebih kecil dari sebelumnya, sehingga menaikkan indeks dolar AS,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (14/1). VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi melihat, konstituen IDX High Dividend 20 merupakan emiten yang sensitif terhadap perubahan ekonomi makro. Di sepanjang tahun 2024, ada sejumlah sentimen yang memengaruhi kinerja emiten konstituen IDX High Dividend 20. Yaitu, pengetatan kebijakan suku bunga bank sentral, peningkatan tensi geopolitik, penurunan daya beli seiring dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan terjadinya deflasi secara bulanan sejak bulan Mei - September 2024. “Hal ini berdampak pada performa saham para emiten, khususnya dari sektor keuangan yang menjadi motor penggerak ekonomi nasional di tengah terjadinya kenaikan
cost of credit dari beberapa big bank,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (14/1).
Baca Juga: Mirae Asset: Hadapi Perang Dagang, Saham Berdividen Tinggi Jadi Pilihan Di sisi lain, penurunan harga saham juga berkorelasi dengan penurunan kinerja keuangan emiten tersebut. Misalnya, SMGR yang laba bersihnya turun 58,66% secara tahunan alias year on year (YoY) per kuartal III 2024 yang diiringi dengan penurunan harga saham sebesar 55,7% dalam setahun terakhir. UNVR mencatatkan penurunan laba 28% YoY per kuartal III 2024 yang diiringi dengan penurunan harga saham sebesar 49,7% dalam setahun terakhir. Laba bersih BBRI yang hanya tumbuh BBRI 2,44% YoY per kuartal II 2024 diiringi dengan penurunan harga saham 35% dalam setahun terakhir. Lalu, laba bersih TLKM turun 9,35% YoY per kuartal III 2024 yang diiringi penurunan saham 35% dalam setahun terakhir. Di tahun 2025, ada dua sentimen yang akan memengaruhi kinerja IDX High Dividend 20 secara positif. Pertama, jika pertumbuhan indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan PDB sebesar 5,05%, pertumbuhan inflasi 3%, dan rupiah yang stabil di level Rp 15.800 - Rp 16.100 per dolar AS. Kedua, jika pemangkasan suku bunga 50-75 basis poin (bps) oleh Bank Indonesia (BI) terealisasikan. “Kebijakan presiden Donald Trump yang lebih konservatif yang akan mendorong kinerja emiten cyclical,” ungkapnya. Menurut Audi, sektor keuangan, infrastruktur, dan bahan baku akan menarik jika dua sentimen tersebut terealisasikan. “Akan tetapi, jika tidak sesuai, maka aset berisiko rendah dan saham defensif akan menjadi primadona seiring dengan ketidakpastian yang masih tinggi untuk pasar saham,” tuturnya.
Audi pun merekomendasikan beli untuk TLKM, BMRI, ANTM, dan ICBP dengan target harga masing-masing Rp 3.200 per saham, Rp 7.200 per saham, Rp 1.900 per saham, dan Rp 14.900 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati