KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten konstruksi swasta masih akan menemui banyak tantangan di tahun 2025. Meskipun begitu, para emiten masih tetap terbantu dengan sejumlah sentimen positif. Salah satunya adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% yang hanya diterapkan untuk barang mewah. PT Total Bangun Persada Tbk (
TOTL) bahkan menyambut baik kebijakan tersebut dan optimistis keputusan pemerintah itu bisa memberikan dampak positif ke kinerja perseroan.
Namun, Corporate Secretary Total Bangun Anggie S. Sidharta mengatakan, TOTL tetap menganggap masih ada banyak tantangan lain yang akan dihadapi di tahun 2025. “Oleh karena itu, perseroan akan tetap berhati-hati dalam menjalankan bisnis agar tetap berkelanjutan,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (8/1).
Baca Juga: OJK Catat Penyaluran Pembiayaan Alat Berat Rp 44,49 Triliun per November 2024 Sebagai respons terhadap tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi, TOTL telah melaksanakan sejumlah inisiatif strategis guna mempertahankan kinerja. “Di antaranya adalah menjaga kas tetap positif serta melakukan efisiensi dan optimalisasi pada kinerja serta biaya operasional,” ungkapnya. Di tahun 2025, TOTL menargetkan raihan nilai kontrak baru sekitar Rp 5 triliun di tahun 2025. Target itu naik sekitar 11% dibandingkan target tahun 2024 yang sebesar Rp 4,5 triliun. “TOTL meraih nilai kontrak baru sekitar Rp 5,08 triliun hingga bulan Desember 2024. Raihan tersebut melampaui alias memenuhi sekitar 113% dari target yang ditetapkan di tahun 2024,” paparnya.
Baca Juga: Proyek Jalan, Penyaluran Kredit Sindikasi Lancar Jaya Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta mengatakan, kinerja emiten konstruksi swasta di tahun 2024 masih cukup beragam. Sebab, emiten konstruksi swasta cenderung lebih sulit mendapatkan raihan nilai kontrak dibandingkan dengan emiten BUMN Karya. Jarang emiten konstruksi swasta yang terlibat dalam proyek strategis nasional (PSN). Kondisi tersebut pun membuat emiten konstruksi swasta biasanya mengandalkan skema business to business (B2B). “Mau tidak mau, kinerja mereka akan bergantung dari seberapa efektif mereka mampu membukukan raihan kontrak baru,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (9/1). Kinerja saham emiten konstruksi swasta pun nampak masih variatif. TOTL mencatakan penurunan kinerja saham 5,71% dalam sebulan terakhir, tetapi naik 21,10% dalam enam bulan terakhir.
Baca Juga: Andalkan Proyek Pemerintah, Kredit Sindikasi Perbankan Berpotensi Meningkat di 2025 PT Nusa Raya Cipta Tbk (
NRCA) juga mencatatkan penurunan saham 7,98% dalam sebulan terakhir, namun naik 2,37% dalam enam bulan terakhir. Sebaliknya, saham PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk (
JKON) turun 3,57% dalam sebulan dan turun 10% dalam 6 bulan terakhir. PT Acset Indonusa Tbk (ACST) sahamnya juga terkoreksi 8,25% dalam sebulan dan turun 10,10% dalam enam bulan terakhir. Di tahun 2025, kondisinya pun tak jauh berbeda. Nafan bahkan melihat emiten BUMN Karya bisa lebih memimpin dibandingkan emiten konstruksi swasta. Sebab, emiten BUMN Karya mampu membukukan nilai kontrak yang lebih tinggi dibandingkan emiten konstruksi swasta. Namun, perlu jadi perhatian juga bahwa tantangan emiten BUMN Karya juga masih berat lantaran ada pengurangan anggaran infrastruktur untuk pagu 2025. “Jadi, emiten konstruksi swasta masih bisa fokus di dalam ruang lingkup bisnis yang mereka bisa raih dalam rangka untuk meningkatkan perolehan kontrak baru dan performa kinerja keuangan,” paparnya. Nafan belum memberikan rekomendasi untuk emiten konstruksi swasta.
Baca Juga: Pemerintah Dorong Swasta Garap Infrastruktur, Ini Kata Gapensi Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas melihat, kinerja emiten konstruksi swasta di tahun 2024 masih bervariasi. Sentimen pergerakan saham para emiten konstruksi swasta pun merupakan dampak dari kinerja fundamental masing-masing emiten. Per kuartal III 2024, TOTL mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp 2,22 triliun per kuartal III 2024, naik 6,88% secara tahunan alias year on year (YoY) dari Rp 2,07 triliun per kuartal III 2023. Laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias laba bersih TOTL sebesar Rp 180,33 miliar di akhir kuartal III 2024, naik 64,56% YoY dari Rp 109,58 miliar. NRCA mengantongi pendapatan Rp 2,53 triliun per kuartal III 2024, naik 26,62% YoY dari Rp 2 triliun pada kuartal III 2023. Laba bersih anak usaha PT Surya Semesta Internusa Tbk (
SSIA) ini sebesar Rp 84,71 miliar, naik 3,02% YoY dari Rp 82,22 miliar. ACST membukukan kenaikan pendapatan 33,57% YoY ke Rp 2,11 triliun per kuartal II 2024. Namun, perusahaan konstruksi yang terafiliasi dengan Grup Astra ini mencatat rugi bersih sebesar Rp286,07 miliar per kuartal III 2024, membengkak 89,16% YoY. Sementara, JKON mencatatkan penurunan pendapatan 14,43% YoY ke Rp 2,49 triliun per akhir September 2024. Laba bersih juga turun 1,21% YoY ke Rp 87,59 miliar. “Emiten yang lanjut merugi itu karena belum ada pemulihan perolehan kontrak atau mengalami penurunan kontrak. Sebaliknya, emiten yang alami kenaikan kinerja karena adanya perolehan kontrak yang berhasil tumbuh,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (10/1).
Baca Juga: Uang Terus Dibakar, E-Commerce Gulung Tikar Di tahun 2025, ada peluang untuk peningkatan kinerja bagi emiten konstruksi swasta yang sudah mencatatkan kinerja positif di kuartal III 2024. Sebaliknya, emiten yang mengalami kerugian per kuartal III tahun lalu diproyeksikan bakal melanjutkan penurunan kinerja di tahun ini. Sentimen positif untuk emiten konstruksi swasta adalah penurunan suku bunga bank sentral, meskipun kemungkinannya hanya akan ada satu kali penurunan saja di semester II 2025. Sedangkan, sentimen negatif berasal dari kenaikan harga bahan baku, seperti harga baja yang tengah mengalami kenaikan dalam beberapa bulan terakhir. Melansir Trading Economics, harga HRC Steel naik 3,99% dalam sebulan terakhir ke level US$ 704 per ton. “Potensi pertumbuhan kinerja yang lebih bagus dari emiten BUMN Karya dibandingkan emiten konstruksi swasta pun tetap ada di tahun 2025,” ungkapnya.
Baca Juga: Investor Qatar Ungkap Alasan Komitmen Investasi 1 Juta Rumah di Indonesia Sukarno masih merekomendasikan
wait and see untuk emiten konstruksi swasta. Namun, bisa juga
hold untuk TOTL dan NRCA dengan target harga masing-masing di Rp 690 per saham dan Rp 360 per saham. Pengamat Pasar Modal dan Founder WH Project, William Hartanto melihat, pergerakan saham TOTL ada di level support Rp 655 per saham dan
resistance Rp 720 per saham. Dia pun merekomendasikan beli untuk TOTL dengan target harga di Rp 720 per saham.
William melihat, pergerakan saham NRCA berada di level
support Rp 334 per saham dan
resistance Rp 358 per saham, dengan tren melemah. Rekomendasi
wait and see disematkan untuk NRCA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati