KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa saham Indonesia dinilai masih punya daya tarik bagi pengelola dana investasi pemerintah alias Sovereign Wealth Fund (SWF) maupun perusahaan konglomerasi global. Ada sejumlah faktor yang membuat pasar saham Indonesia masih seksi, terutama di kawasan Asia Tenggara. Vice President Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, menyoroti kondisi makro ekonomi Indonesia yang cukup kondusif, dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang stabil.
Baca Juga: Menakar Nasib IHSG & Pasar Saham Indonesia Usai Rating Turun dan Jeblok di Kawasan Selain itu, Indonesia punya potensi pasar domestik yang besar, sehingga membuka peluang lebih lebar bagi emiten untuk mengembangkan bisnisnya. Praktisi Pasar Modal & Founder Warkop Saham, Raden Bagus Bima menambahkan, populasi yang besar dan jumlah kelas menengah yang tinggi membuka peluang pasar bagi emiten untuk menggelar ekspansi maupun diversifikasi bisnis. Sektor-sektor dengan fundamental kuat, seperti perbankan, ekonomi digital (teknologi) dan komoditas punya potensi pertumbuhan yang menjanjikan. Dus, investasi di pasar saham Indonesia menawarkan diversifikasi geografis dan bisa mengurangi risiko serta volatilitas portofolio secara keseluruhan. "Pasar Indonesia juga dikenal menawarkan potensi imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan beberapa pasar lainnya.," kata Bima kepada Kontan.co.id, Jumat (8/11).
Baca Juga: Dana Asing Terus Mengalir ke Pasar Saham Indonesia, Cermati Saham Rekomendasi Analis Pengamat & Praktisi Pasar Modal, Agus Pramono menimpali, setiap SWF dan perusahaan konglomerasi global punya karakteristik atau strategi yang berbeda. Hal ini membuat pilihan saham, nilai, maupun durasi investasi dalam keranjang portofolio setiap SWF dan perusahaan konglomerasi akan berbeda-beda. Agus mencontohkan SWF asal Singapura, Government of Singapore Investment Corporation (GIC) yang memiliki gaya seperti
private equity. Salah satu strategi yang biasa dilakukan adalah berinvestasi untuk jangka waktu menengah. Berbeda dengan perusahaan konglomerasi asal Thailand, Siam Cement Group (SCG) yang sering memakai gaya strategic investor. "Kalau GIC melihat
return sebagai
objective utama. SCG bisa punya alasan yang lain, bahkan bisa saja masuk (memiliki saham suatu emiten) untuk mendapat kerja sama di bidang lain dari grup tersebut," jelas Agus.
Baca Juga: Setelah Morgan Stanley, HSBC Juga Pangkas Peringkat Pasar Saham Indonesia Sebagai gambaran saja, beberapa emiten yang sahamnya dimiliki oleh GIC atau afiliasinya adalah PT Bank Jago Tbk (
ARTO), PT Avia Avian Tbk (
AVIA), PT Bukalapak.com Tbk (
BUKA), PT Nusantara Sejahtera Raya Tbk (
CNMA), PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (
EMTK), PT Famon Awal Bros Sedaya Tbk (
PRAY) dan PT Triputra Agro Persada Tbk (
TAPG). Sedangkan SGC atau afiliasinya memiliki sejumlah saham, yakni PT Chandra Asri Pacific Tbk (
TPIA), PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (
CSAP), PT Caturkarda Depo Bangunan Tb (
DEPO), PT Fajar Surya Wisesa Tbk (
FASW), PT Keramika Indonesia Asosiasi Tbk (
KIAS), dan PT Kokoh Inti Arebama Tbk (
KOIN). Wawan sepakat, setiap SWF dan perusahaan konglomerasi global punya gaya dan strategi investasi yang berbeda-beda. Dus, Wawan mengingatkan agar pelaku pasar tetap selektif. Perlu strategi yang memadai dan jangan asal ikutan-ikutan koleksi saham yang dimiliki oleh SWF maupun konglomerasi global.
Baca Juga: Ramai IPO Mini, Pasar Saham Indonesia Butuh Banyak Saham Blue Chip "Ada beberapa faktor yang mungkin memengaruhi pilihan investasi mereka, bisa jadi strategi investasi jangka panjang dan diversifikasi risiko. Dalam beberapa kasus SWF juga dapat memilih saham dengan kriteria tertentu sesuai dengan kebijakan dan arah investasinya," ujar Wawan. Wawan menyoroti, seringkali SWF atau konglomerasi global melakukan transaksi bukan di pasar reguler, tetapi di pasar negosiasi. Dengan begitu, pertimbangan terhadap likuiditas sahamnya menjadi berbeda. Pelaku pasar pun perlu menyesuaikan dengan profil risiko, strategi dan horizon investasi masing-masing. "Lakukan analisa terhadap fundamental, prospek bisnis dan likuiditas. Bila investor asal ikut saja dan ternyata saham di pasar reguler tidak likuid, ini bisa berisiko," tegas Wawan.
Baca Juga: Punya Valuasi Atraktif, Pasar Saham Indonesia Bakal Jadi Incaran Asing Di antara saham yang menjadi koleksi SWF asing seperti GIC dan konglomerasi global seperti SCG, Bima melirik saham ARTO, BUKA, TPIA, EMTK dan DEPO sebagai pilihan yang menarik. Bima mempertimbangkan potensi pertumbuhan sektoral, prospek kinerja emiten, performa fundamental, strategi ekspansi serta sokongan grup yang kuat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli