Menilik Saham Konsisten Berkinerja Apik, Mana yang Berpotensi Terus Melaju?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah kinerja pasar saham yang berfluktuasi, ada beberapa emiten yang harga sahamnya relatif konsisten bergerak naik dalam lima tahun terakhir. Prospek bisnis dan momentum sektoral diprediksi akan mendorong saham-saham tersebut untuk terus melaju.

Sebagai gambaran, indeks Kompas100 akan menjadi rujukannya. Saham-saham yang relatif konsisten mengalami lonjakan harga secara tahunan sejak 2016 hingga 2021 meliputi PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).

Selain emiten perbankan tersebut, ada juga perusahaan di bidang farmasi dan produk kesehatan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) serta emiten tambang PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).


Di samping itu, ada pula emiten yang dalam lima tahun terakhir hampir selalu mencatatkan kenaikan tahunan. Hanya dalam setahun saja ditutup merosot, seperti pada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).

Baca Juga: Kinerja Japfa Comfeed (JPFA) Masih Dibayangi Pergerakan Harga Jual Broiler dan DOC

Selanjutnya ada PT Aneka Gas Industri Tbk (AGII), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), dan  PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES).

Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana membeberkan, konsistensi dari saham-saham tersebut tak lepas dari tiga faktor yang mempengaruhi pergerakan suatu saham. Pertama, fundamental emiten, yang mana perusahaan dengan kinerja keuangan apik dan terus tumbuh akan disukai pasar.

Kedua, prospek bisnis termasuk rencana dan realisasi ekspansi usaha. Regulasi dari pemerintah yang mendukung, serta pergeseran minat masyarakat terhadap industri terkait juga akan menentukan gerak saham.

Ketiga, likuiditas. Saham yang likuid dipandang lebih menarik dan lebih kecil risikonya. 

"Tiga faktor itu umumnya berbeda-beda untuk tiap sektor industri. dalam sektor yang sama pun akan ada saham yang cenderung laggard atau tertinggal," kata Wawan kepada Kontan.co.id, Senin (20/6).

Di samping fundamental dan prospek bisnis, Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana menambahkan bahwa adanya kondisi khusus seperti momentum sektoral dan makro ekonomi juga sangat mempengaruhi.

Pergerakan saham ARTO bisa menjadi rujukan. Tren digitalisasi, termasuk dengan bank digital membuat saham ARTO meroket. Namun di sisi lain fundamentel ARTO juga solid dengan didukung ekosistem bisnis yang apik.

Menurut Raditya, apa yang tergambar di indeks Kompas100 tersebut cukup mencerminkan pergerakan di bursa saham. 

"Mengingat indeks Kompas100 bobotnya signifikan, jadi bisa juga mencerminkan pasar secara umum," sebutnya.

Baca Juga: Simak Proyeksi Saham TOTL, ACST, dan NRCA di Tengah Potensi Kenaikan Suku Bunga

Head of Research Reliance Sekuritas Alwin Rusli melanjutkan, commodity super cycle menjadi momentum untuk membentuk equilibrium baru di tengah meroketnya harga komoditas. Saham-saham di sektor pertambangan batubara dan logam terkena imbas dengan kenaikan harga yang signifikan.

Selanjutnya, saham sektor consumer seperti PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) mengalami rebound setelah tertekan pandemi covid-19 yang membuat konsumsi masyarakat menurun.

Alwin melihat MYOR, UNVR dan ICBP menarik dikoleksi pelaku pasar. 

"Namun perlu diperhatikan saat ini profit margin saham consumer yang tertekan akibat kenaikan harga bahan baku dan pengiriman. Di samping itu, juga boleh diperhatikan saham-saham yang berhubungan langsung dengan komoditas," terangnya.

Senada, Raditya memberikan rekomendasi agar pada 2022 pelaku pasar mencermati tiga sektor ini. Pertama, sektor keuangan, dengan mencermati tren kenaikan suku bunga. 

Rekomendasi buy untuk saham ARTO dan BBCA dengan target masing-masing di Rp 11.800 dan Rp 8.500.

Kedua, sektor consumer mengingat transisi dari pandemi menjadi endemi dan meningkatnya daya beli masyarakat. Raditya merekomendasikan buy saham ACES, ERAA dan MYOR dengan target masing-masing di Rp 960, Rp 578 dan Rp 2.210.

Ketiga, sektor energi seiring dengan super cycle commodity dan dampak geopolitik dari perang Rusia-Ukraina. Meski begitu, Raditya menyarankan wait and see terlebih dulu.

Wawan juga melihat emiten komoditas dan consumer goods sebagai sektor yang prospektif di tahun ini. Begitu pula dengan sektor keuangan yang diuntungkan dari momentum recovery ekonomi seiring besarnya transaksi dan kebutuhan pendanaan untuk bisnis.

Sektor prospektif berikutnya adalah telekomunikasi. 

"Terutama tower, karena sektor ini defensif. Bahkan bila ada tanda PPKM yang lebih ketat, sektor ini juga diuntungkan," sebut Wawan.

Lebih lanjut, untuk emiten perbankan dan telekomunikasi, Wawan melihat kedua sektor ini masih akan prospektif hingga lima tahun ke depan. Sedangkan saham komoditas dan consumers akan tergantung pada siklus, utamanya harga komoditas global serta aktivitas dan konsumsi masyarakat.

Sedangkan Raditya memproyeksikan sektor keuangan dan consumer punya kecenderungan untuk konsisten meningkat dalam lima tahun ke depan. Salah satu kriterianya adalah tingginya demand dari kebutuhan masyarakat

Sementara itu, Alwin mengingatkan pergerakan pasar saham saat ini cukup fluktuatif. Di samping faktor makro ekonomi dan kebijakan moneter, perkembangan covid-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina juga sangat menentukan.

Menimbang hal tersebut, untuk dapat memetakan proyeksi ke depan, pelaku pasar harus memperkirakan sampai kapan dan seberapa dalam faktor-faktor itu mempengaruhi kondisi pasar di Indonesia.

"Satu analisa yang dapat dilakukan yaitu seberapa lama proses pemulihan ekonomi dari krisis yang melanda. Yang paling nyata, proses pemulihan pasca covid-19 memakan waktu sekitar dua tahun untuk sampai ke kondisi sebelum pandemi," pungkas Alwin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi