Menilik sinyal distributor ponsel



JAKARTA. Ada hal yang unik jika berbicara soal prospek emiten halo-halo. Gawai varian baru terus bermunculan. Belum habis gadget seri anyar, eh, sudah muncul seri yang lebih anyar lagi. Di satu sisi, daya beli konsumen pada sektor ini tidak banyak terganggu.

Lihat saja, banyak konsumen yang justru ingin lebih cepat mengganti smartphone dengan varian paling baru. Berdasarkan data perusahaan riset MARS Indonesia, hanya sekitar 28% dari seluruh pengguna ponsel pintar yang mau menunggu satu tahun untuk mengganti telepon pintarnya dengan yang lebih baru. Sisanya tak sabar untuk ganti.

Bahkan ada yang tidak sampai enam bulan sudah kembali mengganti ponsel pintarnya. "Semakin cepat perkembangan teknologi, semakin cepat pula siklus pergantian smartphone," tulis Analis Kresna Securities Fransisca Putri dalam risetnya.

Sentimen positif ini tampak pada PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA). Perusahaan distribusi dan perdagangan peralatan telekomunikasi ini menjadi emiten dengan diversifikasi produk paling besar. ERAA memegang hak penjualan 15 merek, seperti Acer, Apple, Asus, Lenovo dan beberapa merek lain.

Tapi, banyaknya varian ini juga menghasilkan konsekuensi tersendiri. "Smartphone yang tidak terjual karena adanya varian yang lebih baru juga besar," ujar Analis Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya kepada KONTAN, Jumat (13/1).

Di sisi lain, lanjut William, banyaknya merek yang dipegang ERAA justru menjadi penopang kinerja. ERAA mampu memanfaatkan peluang di balik banyaknya merek yang dipegang dengan baik.

Hal ini terbukti dari penjualan ERAA hingga kuartal ketiga 2016 yang naik 12% secara year on year (yoy) menjadi Rp 15,59 triliun. Laba ERAA pada periode yang sama tumbuh 12% yoy menjadi Rp 190 miliar. Beragamnya merek menambah pilihan bagi konsumen.

Hal ini juga membuat penetrasi pasar ERAA kian besar. Apa lagi ERAA juga memiliki segmen penjualan modem internet yang turut menambah pundi-pundinya. Fransisca memprediksi pendapatan ERAA tahun ini bisa mencapai Rp 24,18 triliun, naik 9% dibanding prediksi pendapatan tahun lalu, yakni Rp 22,15 triliun.

Sementara, laba tahun ini diprediksi meningkat 22% yoy menjadi Rp 339 miliar. "Margin ERAA juga terlihat membaik karena strategi menjaga inventori," kata Fransisca.

ERAA menetapkan perputaran inventori selama 40 hari. Margin kotor ERAA kuartal III-2016 sebesar 7,7%. Bandingkan dengan margin kotor periode sama tahun sebelumnya sebesar 7,3%. Margin laba bersih ERAA juga naik menjadi 1,2% dari sebelumnya 1,1%.

"Sisi margin ERAA juga akan terus meningkat secara bertahap," tambah Fransisca.

Sejatinya, PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) juga menghadapi sentimen yang sama. Hanya saja, pemasukan dari penjualan vocer pulsa menjadi yang paling dominan dibanding segmen usaha lain.

William mengatakan, inilah yang menjadi salah satu keunggulan TELE. Pada sembilan bulan pertama 2016, sebesar Rp 16 triliun, atau 79,78% dari total pendapatan TELE senilai Rp 20,05 triliun berasal dari penjualan vocer dan kartu perdana. Kartu perdana mungkin penjualannya terbatas karena tak semua pengguna smartphone rutin mengganti kartu perdana.

"Tapi, pendapatan dari vocer yang menopang TELE," kata William.

Kontribusi penjualan telepon seluler hanya Rp 4,45 triliun atau 22,19% dari total pendapatan TELE. Margin kotor TELE per akhir September lalu sebesar 5,86%.

Kondisi berbeda justru terjadi pada PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO). Emiten ritel ini tengah terbelit masalah utang, bahkan hingga berujung pada PKPU. Belakangan, TRIO tengah memproses konversi utang ke saham guna menyelesaikan permasalahan tersebut.

Kondisi ini turut mempengaruhi anak usahanya, PT Global Teleshop Tbk (GLOB). Keduanya belum menyampaikan laporan keuangan sejak akhir 2015 karena permasalahan utang.

Pada laporan keuangan TRIO periode September 2015, pendapatan lini bisnis telepon, vocer dan konten menurun. TRIO pun merugi Rp 320 miliar. Di sisi lain, arus kas TRIO pun negatif di akhir periode.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie