KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pada tahun 2022, Pemerintah menargetkan ada total 57 pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) yang akan beroperasi. Tapi hingga kini, total baru ada 27 smelter yang sudah beroperasi, sehingga butuh 30 smelter lagi yang beroperasi sepanjang empat tahun ke depan. Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai, perlu upaya ekstra untuk mengakselerasi pembangunan smelter supaya bisa mencapai target tersebut. Sebab, jika menilik data yang ada, sejak diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), rata-rata hanya ada tiga unit smelter yang bisa beroperasi setiap tahunnya. Irwandy mencontohkan, pada tahun 2010-2011 hanya tiga smelter yang beroperasi. Rata-rata penambahan dari 2012-2018 adalah tiga smelter per tahun, kecuali pada tahun 2015 yang sebanyak tujuh smelter.
Sehingga, lanjut Irwandy, jika menggunakan angka pertumbuhan smelter tersebut, maka penambahan dalam tiga tahun ke depan hanya 9 smelter. Sehingga, total 27 smelter yang telah beroperasi, ditambah 9 smelter baru, hanya mencapai 36 smelter. "Masih jauh dari target 57 smelter, kecuali ada akselerasi," kata Irwandy saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/2). Sebelumnya, dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI< Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan menerangkan bahwa hingga tahun 2018 lalu, total ada 27 smelter yang telah beroperasi. Terbanyak berasal dari komoditas Nikel dengan 17 smelter. Sisanya, dari komoditas tembaga berjumlah 2 smelter, bauksit berjumlah 2 smelter, besi berjumlah 4 smelter, dan komoditas mangan berjumlah 2 smelter. Jumlah itu sudah termasuk penambahan 2 smelter nikel baru yang beroperasi pada tahun lalu.
Sedangkan untuk rencana hingga tahun 2022, Jonan merinci bahwa akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng. Lebih lanjut, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa meski smelter-smelter tersebut mayoritas dibangun menggunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun ada juga yang memakai Izin Usaha Industri (IUI). Bambang bilang, setiap smelter memiliki progres yang bervariasi, sesuai dengan rencana (Kurva S) yang diajukan dan dilaporkan kepada Kementerian ESDM. Asal tahu saja, berdasarkan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2018, pengawasan berkala dilakukan setiap enam bulan dan harus mencapai kemajuan paling sedikit 90% dari rencana yang dihitung kumulatif oleh verifikator independen. Dalam hal ini, Bambang menegaskan bahwa pemerintah telah bertindak tegas terhadap perusahaan yang tidak sesuai dengan ketentuan, termasuk dengan memberi sanksi berupa pencabutan rekomendasi ekspor. "Progresnya masing-masing beda-beda, ada yang 0-10%, ada yang 10%-20%, ada yang 30%-50%, macem-macem. Pokoknya asal sesuai Kurva S, nggak sesuai ita cabut (rekomendasi ekspor)," kata Bambang. Adapun, hingga hari ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, ada dua perusahaan yang dikenai sanksi pencabutan rekomendasi ekspor tersebut. Yakni perusahaan nikel PT Surya Saga Utama serta perusahaan bauksit PT Lobindo Nusa Persada. Yunus bilang, pihaknya masih menunggu laporan yang telah diverifikasi oleh verifikator independen dari kedua perusahaan tersebut. Yunus pun mengatakan, kewajiban keduanya untuk mengejar rencana pembangunan enam bulan sebelumnya dan mengajukan rencana pembangunan periode selanjutnya harus tetap dilakukan. "Ya pokoknya kalau dia mengajukan lagi disertai dokumen-dokumen verifikasi kemajuannya lebih dari 90%, ya jalan lagi (rekomendasi ekspor)," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (24/2). Sementara itu, menurut Bambang Gatot, setiap perusahaan memiliki tantangan yang berbeda dalam merealisasikan target pembangunan smelternya. Utamanya adalah kendala investasi yang cukup tinggi. "Ya macem-macem, mungkin susah, mahal investasinya," ujarnya. Terkait dengan persoalan investasi atau nilai keekonomian ini, Irwandy Arif menilai bahwa itu tergantung dengan komoditas yang diolah, serta kesiapan rantai pasar dari komoditas dan hasil olahannya. Sebab, jika itu tidak disiapkan, maka margin antara bisnis hilir ini akan lebih kecil dibandingkan dengan bisnis hulunya, mengingat dana besar yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak cepat terganti karena tergolong dalam investasi jangka panjang. Irwandy mencontohkan, untuk PT Freeport Indonesia dengan konsentrat tembaganya, margin dari bisnis hulunya masih lebih kecil. "Tapi kalau komoditas lain seperti Nikel dari hulu ke hilir sudah proven oleh PT Antam dan PT Vale, juga PT Bintang Delapan. Untuk Bauksit juga ada smelter PT Antam," terangnya. Sedangkan selain karena faktor di atas, ada sejumlah kendala lain yang menurut Irwandy membuat pembangunan smelter lambat. Pertama, terkait dengan pasokan energi dan ketersedian infrastruktur jalan, pelabuhan dan akses lainnya yang masih terbatas. Kedua, mengenai pengenaan tarif rotalty bijih dan hasil pengolahan atau pemurnian. Ketiga, soal perizinan, yakni hambatan perizinan dalam alih fungsi lahan serta masih adanya dua perizinan dari IUP dan IUI. Keempat, kesulitan pasokan bagi smelter yang tidak memiliki tambang, dan kelima, kebijakan untuk mendorong pembangunan smelter yang masih kurang tegas. "Kalau itu bisa diatasi, bisnis smelter akan lancar," kata Irwandy. Adapun, seperti yang pernah diberitakan KONTAN sebelumnya, Kementerian ESDM tengah menyiapkan peraturan untuk menjamin komitmen pembangunan smelter. Beleid yang berbentuk Keputusan Menteri (Kepmen) tersebut rencananya akan mengatur secara detail tentang tata cara pemberian sanksi berupa denda, serta jaminan kesungguhan pembangunan smelter. Di sisi lain, sebagai informasi, Kementerian ESDM menargetkan setidaknya akan ada dua smelter yang siap beroperasi di tahun 2019 ini. Satu di antaranya adalah smelter feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk yang berlokasi di Halmahera Timur, yang rencanannya akan selesai pada pertengahan tahun ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini