Menimbang IPO perbankan



Perbankan nasional mengarungi 2017 dengan kegamangan. Kredit hanya tumbuh 8% year on year (y-o-y). Pertumbuhan kredit single digit merupakan pengulangan dari tahun sebelumnya. Di sisi hulu, nasabah perlahan mulai mengurangi simpanan cash karena tren penurunan bunga.

Performa perbankan agaknya kontras dengan pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) untuk kali pertama dalam sejarah menembus level 6.000. Total dana yang berhasil dihimpun di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp 276,5 triliun, atau melejit 24% dibandingkan setahun sebelumnya.

Fakta itu memunculkan dugaan terjadi migrasi likuiditas. Naluri ekonomi niscaya membimbing pemilik dana memindahkan simpanannya hingga pola pembiayaan dunia usaha mengalami pergeseran dari perbankan menuju pasar modal.


Secara konseptual, jika pemilik dana tidak menempatkan dananya di perbankan tetapi untuk membeli sekuritas di pasar modal, maka pengurangan dana pihak ketiga (DPK) akan diikuti dengan penurunan kredit yang setara.

Demikian pula, efek kenaikan sekuritas yang diterbitkan korporasi akan netral saat penurunan kredit tersalurkan bank pada surat berharga lainnya.

Dampak perlambatan DPK bagi perbankan tidak terlalu signifikan, jika itu bisa digantikan oleh perolehan dana dari penjualan surat berharga yang diterbitkan. Proposisi konseptual di atas sepertinya terjadi untuk perbankan di Indonesia.

Faktanya, perbankan menyalurkan dananya ke Surat Berharga Negara dan surat utang jangka menengah korporasi. Penurunan laju DPK disiasati bank dengan menjual sertifikat deposito.

Perbankan lebih nyaman mengelola likuiditasnya ke instrumen yang bersifat temporer alih-alih melalui initial public offering (IPO). Tengok saja, dari 37 emiten baru yang masuk BEI di tahun lalu, tidak ada satupun emiten yang berasal dari sektor perbankan.

Sepinya minat bank untuk IPO boleh jadi lantaran industri perbankan masih mengalami ekses likuiditas cukup besar. Jadi, bank menganggap belum memiliki kebutuhan mendesak untuk menambah likuiditas melalui IPO.

Pertimbangan lain adalah perburuan dana melalui IPO berakibat pada mismatch maturity pendanaan. Dana dari pasar modal lazimnya untuk tujuan jangka panjang, sementara penyaluran kredit perbankan tipikal berjangka pendek. Konsekuensinya, bank akan menanggung beban biaya dana yang tidak murah.

Sejalan dengan itu, perbankan saat ini masih konsolidasi diri kendati Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mencabut program pelonggaran restrukturisasi kredit. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang tinggi membuat bank tidak menjadikan ekspansi kredit sebagai prioritas utama.

Relatif tingginya NPL menuntut tambahan dana cadangan kerugian penurunan nilai. Praktis, beban ini akan dikalkulasi perbankan sebagai biaya overhead. Idealnya, overhead harus bisa ditutup dengan pendapatan berbasis biaya atau fee based income (FBI).

Saat FBI belum mampu menutup overhead, margin keuntungan bank akan tergerus. Padahal, kalangan perbankan berupaya mempertahankan margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) pada kisaran 5%-6% agar tercapai keuntungan yang optimal baik bagi bank maupun bagi pemegang saham.

Penguatan modal

Alhasil, pembayaran dividen menjadi salah satu pertimbangan IPO. Secara nature bisnis, usaha perbankan kebanyakan bertipe konglomerasi yang terkait dengan koneksi grup bisnisnya. Lagipula, pemegang saham beberapa bank masih terikat hubungan keluarga sehingga terkendala psikologis jika harus melepas kepemilikan.

Berbagai argumen di atas menjustifikasi keputusan bank memilih opsi tidak IPO. Konsekuensinya, IPO perbankan tampaknya hanya mengandalkan proses secara natural alih-alih dikondisikan dengan berbagai macam regulasi. Namun dalam perspektif jangka panjang, argumen tersebut bisa gugur.

Melalui pasar modal, perbankan bisa mendapatkan modal sehingga meningkatkan kapasitasnya. Dengan menjadi perusahaan go public, perbankan akan diawasi oleh publik.

Dengan demikian, IPO mempertinggi mutu tata kelola perbankan lantaran kepemilikannya yang lebih beragam.

Arsitektur Perbankan Indonesia yang dirilis sejak 2004 jelas mengamanatkan penguatan efisiensi melalui restrukturisasi modal dan aset. Karena itu, kiprah sektor perbankan dalam mendapatkan tambahan dana di pasar modal di masa mendatang akan terus berkembang.

Perbankan yang ditopang modal kuat, niscaya sanggup menetralisir risiko likuiditas dan menyerap risiko kredit bermasalah. Ketangguhan modal perbankan juga akan merawat stabilitas sistem perbankan sehingga kasus bank sistemik yang berefek domino bagi perekonomian tidak muncul lagi.

Selain itu, penerapan prinsip Basel III dan Undang-Undang No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan semakin memperketat persyaratan modal perbankan. Melalui pembentukan cadangan modal, perbankan harus mampu menanggulangi diri sendiri (bail in) jika terjadi krisis keuangan.

Dengan konfigurasi problematika di atas, penambahan modal perbankan mutlak diperlukan. Konsekuensinya, pemerintah, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan OJK melalui segala kewenangan yang dimiliki perlu mendorong agar proses IPO perbankan lebih greget lagi.

Regulasi tidak cukup bersifat conditioning, melainkan memberlakukan aturan yang lebih tegas. Kemampuan perbankan mengakomodasikan kepentingan aspek makro (jangka panjang) dan unsur mikro (jangka pendek) adalah kuncinya.

Semakin banyak bank yang masuk pasar modal, maka semakin dinamis industri perbankan.

Pasar modal dan pasar kredit perbankan memang dua pasar yang tersegmentasi. Tetapi tidak berarti keduanya tidak bisa berintegrasi. Bagaimanapun, pasar modal dan pasar kredit perbankan adalah simbiosis mutualisme.

Alhasil, tanpa melibatkan diri langsung ke pasar modal, perkembangan industri perbankan tidak sustainable. Risiko yang paling berat adalah postur industri perbankan yang sehat, mandiri, dan kompetitif, serta berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan akan kian menjauh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga