KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peta bursa pemilihan presiden 2019 akhirnya menyiratkan dua nama kontestan calon presiden, yakni dari petahana Joko Widodo yang diusung partai PDIP. Kemudian Prabowo Subianto dari partai Gerindra. Pengamat politik mengatakan, saat-saat ini menjadi masa kritis untuk memperhatikan perubahan arah poros kekuasaan. Pasalnya, saat ini para petinggi partai akan terus menimbang peta kekuasaan dan keuntungan dan kerugian yang bisa mereka terima melalui jalur koalisi. Adapun potensi untuk didirikannya poros ketiga menjadi minim karena berat menarik suara dari dua partai yang sudah mengeluarkan nama jagoannya.
Ingat saja, PDIP telah mengusung nama Jokowi sebagai calon presiden putaran kedua. Walau belum mengeluakan nama calon pendampingnya, namun terdapat sejumlah sosok politisi yang berusaha merapat pada partai banteng tersebut. Diantaranya adalah Abdul Muhaimin Iskandar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang gegap oleh partainya ingin dijadikan sandingan Jokowi. Di sisi lain, nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikonfirmasi ikut Pilpres 2019 sebagai capres sejak pekan lalu pada Rapat Koordinasi Nasional Partai Gerindra. Ini akan menjadi upaya Prabowo yang ketiga setelah kalah di Pilpres 2014 silam sebagai capres dan Pilpres 2009 sebagai cawapres pendamping Megawati Soekarnoputri. Direktur Populi Center, Usep S Ahyar mengatakan, kedua nama tersebut dipercaya bakal membuat Pilpres 2019 menjadi ajang kontestasi yang besar. Dari kubu petahana, Jokowi bakal ditekan untuk membuktikan hasil kerja periode pertama jabatannya, dan bakal terbuka lebar terhadap kritik yang tidak puas dengan arah maupun kecepatan program pembangunannya. Sedangkan dari sisi Prabowo, kegigihannya mengejar kursi presiden serta posisinya sebagai oposisi bakal menarik perhatian dan simpati dari kubu penantang. Namun, Usep meyakini, faktor pengalaman Prabowo di putaran pemilu sebelumnya bisa jadi salah-satu penghambat elektabilitas Prabowo di mata masyarakat. Tambah lagi, sosok Prabowo sebagai mantan perwira TNI kerap dijadikan anggapan bahwa gaya kepempimpinannya bakal menjurus militeristik. "Hal ini bisa dijadikan senjata untuk black campaign, padahal masyarakat harus bisa membedakan antara tegas dengan militeristik," jelas Usep saat dihubungi Kontan, Minggu (15/4). Tapi bukan berarti, kemajuan Prabowo tanpa peluang. Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menjelaskan Prabowo berpeluang memenangkan pertarungan karena posisinya yang jelas di oposisi. Kejelasan posisi ini akan menjadi relung bagi pemilih yang kecewa dengan Jokowi hingga bakal beralih ke Prabowo. Selain itu, Prabowo juga didukung oleh partai koalisi yang memiliki mesin politik kuat seperti PKS. Bila mesin politik tersebut bisa dijalankan dengan optimal, maka akan dengan mudah kubu Prabowo dapat memenangkan kontestasi Pilpres 2019. "Apalagi jika disaat yang sama, citra Jokowi makin melemah akibat sejumlah kebijakannya yang bermasalah," jelas Ubedillah. Sedangkan untuk kubu petahana, Ubedilah melihat peluang Jokowi memenangkan kontestasi pilpres lebih karena faktor posisinya sebagai petahana yang memiliki peluang banyak untuk melakukan imaging policy. "Jokowi dengan mudah dapat menjadikan kebijakan dan programnya sebagai bahan pencitraan atau secara otomatis seluruh langkah Jokowi berdampak pada citra," kata Ubedillah. Selain itu, Jokowi juga didukung oleh partai yang menguasai kursi di DPR. Soalnya, dengan jumlah kursi di DPR masih mayoritas dipegang oleh PDIP dan koalisi, maka anggota DPR bila bekerja semua bersama dengan konstituen Jokowi, akan otomatis mendulang suara yang banyak.
Di sisi lain mengenai potensi poros ketiga pada bursa Pilpres 2019, perlu diingat calon peserta Pilpres 2019 harus menaati regulasi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR. Karena klausul tersebut, Usep melihat kemunculan poros ketiga akan jadi sangat berat apalagi bila poros baru tersebut harus tarik-menarik suara dengan dua partai besar PDIP dan Gerindra yang masing-masing sudah memajukan dua nama besar. "Kemunculan poros ketiga akan sangat berat, karena posisi kursi DPR sudah banyak diserap petahana dan oposisi, kemudian logistik yang harus dipertimbangkan untuk kampanye bukan hal remeh," jelas Usep. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia