KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah negara memutuskan untuk menghentikan pembiayaan untuk proyek pembangkit listrik batubara atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Terbaru, Pemerintah Jepang memutuskan untuk menghentikan pembiayaan pada Proyek PLTU Indramayu. Proyek ini merupakan besutan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkapasitas 1X1.000 MW.
Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengungkapkan, PLN telah membangun peta jalan atau
roadmap menuju Carbon Neutral pada tahun 2060.
"Dalam peta jalan tersebut, sudah jelas bahwa PLN tidak akan membangun PLTU baru, sehingga tidak memerlukan pendanaan untuk PLTU baru," kata Gregorius kepada Kontan, Jumat (24/6). Untuk itu, Gregorius memastikan, PLN pun juga mengambil inisiatif yang sama untuk penghentian pinjaman, sebagai bagian dari langkah PLN mencapai target Carbon Neutral 2060. Dia melanjutkan, sesuai rencana tersebut, PLN juga telah merumuskan beberapa langkah strategis.
Baca Juga: Sumber Pendanaan Kian Sulit, Proyek PLTU Berpotensi Terhambat Pertama, PLN akan mengembangkan pembangkit EBT sesuai dalam RUPTL 2021-2030, dengan target penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 20,9 GW dan mencapai bauran EBT sebesar 24,8% pada 2030. Pada saat bersamaan, PLN juga terus mengoptimalkan penerapan
cofiring pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga mencapai kapasitas 1,8 GW. Gregorius mengungkapkan, dari target 52 lokasi tahap implementasi pada 2025, saat ini
cofiring biomassa telah diimplementasikan di 32 lokasi. PLN juga melakukan program dedieselisasi atau konversi sekitar 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masih beroperasi di 2130 lokasi, khususnya di wilayah terpencil. PLTD ini nantinya akan dikonversi ke pembangkit berbasis EBT seperti PLTS, pembangkit gas, maupun integrasi dengan grid nasional. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menilai kunci pengembangan usaha kelistrikan yakni ketersediaan dana untuk melakukan transisi energi. "Kami bisa bilang sebagai
transition financing. Sehingga ada skema yang bisa mulai di implementasi-kan untuk PLTU di Indonesia (untuk) bisa memikirkan mekanisme investasi pembangkit sumber energi terbarukan dari hasil
early retirement PLTU," terang Arthur kepada Kontan, Jumat (24/6).
Baca Juga: Jepang Hentikan Pendanaan untuk PLTU Indramayu, Ini Sebabnya Kendati demikian, Arthur menjelaskan, sulit untuk menghentikan operasi PLTU secara total. Salah satu alasannya yakni, tingkat keandalan PLTU yang tinggi dalam menjaga rasio elektrifikasi. "Ke depan juga akan diperlukan PLTU dengan tambahan investasi
carbon capture and storage, sehingga emisi karbon tidak menghasilkan efek rumah kaca terhadap lingkungan," jelas Arthur. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, proyek-proyek PLTU di Indonesia selama ini umumnya didanai Jepang, Korea Selatan dan China. Sayangnya, beberapa tahun belakangan pendanaan dari ketiga negara tersebut kian sulit. "China sudah menyatakan tidak lagi mendanai PLTU di September tahun lalu. Demikian juga Korea Selatan," ujar Fabby kepada Kontan.co.id, Kamis (23/6). Dengan kondisi tersebut, akan sulit bagi proyek-proyek PLTU yang belum mencapai tahapan
financial close atau jaminan perolehan pendanaan untuk bisa melanjutkan proyek. "Pilihannya cari proyek sponsor baru dan cari pendanaan komersial di luar ketiga negara itu," kata Fabby. Langkah ini bukan tanpa risiko. Kata Fabby, jika langkah tersebut diambil maka ada konsekuensi biaya proyek meningkat. Lebih jauh, tingkat pengembalian investasi pun akan menjadi kurang menarik. Merujuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan penambahan kapasitas PLTU sebanyak 13,81 GW hingga 2030 mendatang.
Baca Juga: Penerapan Pajak Karbon 1 Juli 2022 Ditunda, Ini Kata Pengamat Pajak Per 2020 lalu tercatat jumlah kapasitas pembangkit terpasang di Indonesia mencapai 63,3 GW. Dari jumlah tersebut, sebesar 31,95 GW merupakan PLTU. Fabby menyebut, kondisi sedikit lebih baik terjadi untuk Pulau Jawa. Jika pun proyek PLTU mengalami kesulitan pendanaan, sistem kelistrikan di Pulau Jawa dinilai tidak akan begitu terdampak.
"Dengan potensi kelebihan kapasitas 5 GW sampai 6 GW, saya kira ancaman ini tidak secara langsung ada," kata Fabby. Menurutnya kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan. Proyek-proyek PLTU yang masuk dalam RUPTL 2021-2030 namun tidak bisa dieksekusi dapat digantikan dengan pembangkit energi terbarukan. "Ini juga bisa menyelamatkan PLN dari pembelian listrik dari Independent Power Producer (IPP) dengan faktor kapasitas yang tinggi," kata Fabby. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari