Bagi para penggemarnya, David Bowie dikenal sebagai musisi bertalenta tinggi, inspirator
space rock, tokoh gerakan
proto-punk, serta karakter alter egonya Ziggy Stardust. Tapi ia lebih dari itu. Bowie adalah contoh nyata dari superstar yang berpindah status menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN) negara lain untuk menghindari beban pajak. Istilah populer terkait perpindahan status subjek pajak tersebut dikenal dengan nama tax exile. Apa yang bisa dipelajari dari perilaku tax exile? Sejauh mana risiko yang dihadapi dan opsi kebijakan pajak yang bisa diambil oleh Indonesia? Separuh pertama dekade 60-an, dunia dilanda demam
british invasion. Album, aksesori, serta konser grup band asal Inggris laris bagai kacang goreng. Anak-anak muda tersebut mendadak menjadi miliarder atas penghasilan yang besar dari royalti album hingga menjadi bintang iklan.
Satu-satunya yang mereka cemaskan hanyalah pajak. Pasca-Perang Dunia II, rezim pajak penghasilan (PPh) individu di banyak negara benar-benar mencekik. Misalnya, tarif bagi kelompok lapisan penghasilan teratas bisa lebih dari 80%. Kondisi di Inggris bahkan lebih parah, terutama pada saat Harold Wilson menjadi Perdana Menteri di tahun 1964. Politisi Partai Buruh tersebut mendorong sistem PPh yang progresif. Salah satunya dengan menetapkan tarif PPh individu tertinggi di angka 83%. Masih belum cukup, kelompok 'super kaya' juga dibebani 15% surtax atas penghasilan pasif mereka. Aksi aparat pajak itu lantas direkam oleh The Beatles dan dituangkan dalam lagu "Taxman". Lagu yang menjadi pembuka album Revolver (1966) tersebut jelas nyinyir. Potongan lirik "There's one for you, nineteen for me" mengkritik betapa besar pajak yang diambil oleh pemerintah. Berbeda dengan The Beatles, banyak musisi rock lainnya justru memilih hengkang dan melakukan 'pelarian' dengan menjadi SPDN di negara lain. Sebut saja Rolling Stones yang berpindah menjadi SPDN Prancis bersamaan dengan pembuatan album
Exile on Main St. (1972). Rod Stewart yang hijrah ke California, Amerika Serikat ataupun Gordon Sumner alias Sting yang menjadi tax exile di Irlandia mulai tahun 1980. Lalu, bagaimana dengan Bowie? Ia dan istrinya memutuskan menetap di Blonay dan menjadi residen Swiss pada tahun 1976. Alasannya, di negara tersebut mereka hanya dipajaki sebesar 10% atas penghasilan (Gupta, 2016). Daftar tersebut belum menyertakan contoh tax exile superstar lainnya. Misalkan, aktor kawakan Prancis Gerard Depardieu yang pindah ke Rusia, maupun Roger 'Bond' Moore yang pindah ke Swiss. Jangan lupakan pula fenomena migrasi pemain sepak bola kelas dunia ke Spanyol belakangan ini. Adanya rezim pajak khusus bagi warga negara asing (Beckham Law) melalui tarif PPh yang flat maupun pembebasan pajak atas penghasilan tertentu menjadi penyebabnya (Kleven, Landais, dan Saez, 2012). Ada dua hal yang bisa dipelajari dari fenomena di atas.
Pertama, tax exileumum-nya dilakukan dengan berpindah menjadi SPDN negara lain yang memiliki tarif pajak rendah, memiliki rezim pajak 'ramah', dan/atau yurisdiksi dengan sistem teritorial yang notabene tidak memajaki penghasilan yang bersumber dari luar negeri. Tidak mengherankan jika Irlandia, Swiss, Bahama, dan Monako menjadi tempat mengasingkan diri yang populer.
Kedua, tax exile adalah dampak tidak langsung dari kompetisi memperebutkan sumber daya manusia bertalenta tinggi. Salah satunya ditandai dengan adanya perlakuan pajak khusus bagi individu SPDN negara lain. Sebagai contoh, pada tahun 1966 Amerika Serikat mulai memperkenalkan konsep
resident alien. Beleid ini memberikan keuntungan pajak bagi para ekspatriat dengan kriteria tertentu. Exit tax
Tax exile memang masih asing di Indonesia. Namun, sistem pajak kita yang berbasis
worldwide, yang memajaki seluruh penghasilan yang diterima SPDN dari manapun asalnya, bisa menjadi faktor pemicu. Belum lagi jika kita mempertimbangkan sistem classical dalam pemajakan atas korporasi dan pemegang saham, keinginan untuk menaikkan tarif tertinggi PPh individu, maupun penegakan hukum pasca-amnesti pajak. Seluruh faktor tersebut menciptakan risiko perilaku
tax exile terutama bagi individu berpenghasilan tinggi (
top income earner). Lantas, apa yang harus dilakukan? Dari sekian opsi kebijakan, salah satu yang jarang diperbincangkan adalah
exit tax. Secara sederhana, exit tax adalah pengenaan pajak tambahan ketika seseorang memutuskan untuk menjadi SPDN negara lain atau beremigrasi (meninggalkan yurisdiksi asal). Tujuannya mencegah penurunan penerimaan pajak dengan menghambat mobilitas individu kaya, berpenghasilan besar, dan berkemampuan tinggi (high-skill). Selain atas argumentasi benefit
theory of taxation atau bentuk dari kebijakan anti-penghindaran pajak, exit tax juga dapat dijustifikasi karena menjadi perwujudan dari
Bhagwati tax (Brauner, 2015). Wacana pungutan tersebut diajukan oleh Jagdish Bhagwati (1972) sebagai kompensasi dari negara maju atas migrasi individu bertalenta tinggi dari negara berkembang (brain drain). Dalam konteks individu,
exit tax merupakan bagian dari rezim pemajakan ekspatriat (
expatriate tax regime). Rezim ekspatriat umumnya merupakan rezim khusus di antara perlakuan pajak atas SPDN dan subjek pajak luar negeri (SPLN). Dalam konteks imigrasi, rezim ini mencakup berbagai insentif, kemudahan administrasi, hingga pembebasan atas penghasilan dari luar yurisdiksi. Dalam konteks emigrasi mencakup perpanjangan kewajiban pajak bagi individu yang sudah berganti status SPDN, exit tax, hingga remittance tax. Singkatnya, rezim exit tax tak dapat dilepaskan dari fenomena kenaikan mobilitas sumber daya manusia (Avi-Yonah, 2014). Pada pelaksanaannya, exit tax dikenakan atas keuntungan modal yang belum terjadi (unrealized capital gain). Seseorang yang memutuskan untuk melepaskan status SPDN dari suatu yurisdiksi ke yurisdiksi yang lain akan dianggap menjual seluruh aset yang dimilikinya.
Dasar pengenaan pajak (DPP) exit tax akan berupa nilai pasar dari aset pada saat 'dianggap dijual' dikurangi dengan nilai pada saat perolehan. Desain untuk exit tax sendiri bisa bervariasi tergantung kebutuhan tiap negara. Hal ini mencakup subjek, objek, tarif, threshold, perhitungan, maupun mekanisme pembayarannya. Sebagai penutup,
exit tax tentu akan turut berpengaruh bagi strategi pemenuhan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam jangka panjang. Dengan demikian, ide exit tax perlu mempertimbangkan konteks daya saing, aturan ketenagakerjaan, serta isu kedaulatan Indonesia.
• B. Bawono Kristiaji Partner DDTC Fiscal Research Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi