Menimbang untung rugi investasi di EBA-SP ritel SMF



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pilihan alternatif investasi bagi investor ritel tampaknya bertambah lagi. Kamis (2/8), PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), resmi merilis Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) ritel pertama di Indonesia. Produk ini hanya dapat dibeli mulai dari Rp 100.000 dan akan diperdagangkan di pasar sekunder.

Sekadar informasi, EBA-SP merupakan instrumen efek (surat berharga) yang terdiri dari sekumpulan aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial. Dalam konteks EBA-SP Ritel SMF ini aset yang menjadi dasarnya (underlying asset) ialah kredit pemilikan rumah (KPR).

Produk EBA-SP Ritel SMF yang akan dipasarkan oleh BNI Sekuritas sebagai rekan penjual adalah EBA-SP SMF-BTN01 Kelas A dengan kupon bunga sebesar 8,6% per tahun. EBA-SP SMF-BTN01 Kelas A tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 Desember 2015 dengan tanggal jatuh tempo final pada 7 Maret 2022.


Namun, SMF memperkirakan instrumen ini akan lunas lebih awal karena Kumpulan Tagihan mempunyai rata-rata tertimbang jatuh tempo (weighted average life) selama 2,08 tahun. EBA-SP ini pun telah memperoleh rating idAAA dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra, berpendapat, instrumen investasi teranyar ini bisa dibilang cukup atraktif jika menilik dari tingkat bunga kupon yang ditawarkan. "Kuponnya jelas lebih menarik ketimbang deposito yang berkisar 6% untuk tenor setahun, maupun surat utang negara (SUN) yang baru 7% untuk tenor dua tahun," kata Made, Kamis (2/8).

Meski EBA-SP ini dinyatakan akan lunas lebih awal, I Made Adi mengatakan, hal tersebut tidak akan begitu berpengaruh pada untung rugi investor ritel. Sebaliknya, investor institusi yang justru berpotensi merugi karena biasanya continuity cashflow menjadi salah satu pertimbangan utama mereka dalam berinvestasi.

"Kalau ada pelunasan EBA-SP lebih awal, institusi harus memikirkan lagi reinvestasi padahal belum tentu instrumen lain bisa kasih tingkat return yang sama. Tapi, kalau untuk investor ritel kan yang penting tetap jatuh tempo dan returnnya tetap," papar Made.

Secara umum, Deputi Direktur Perizinan Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), I Made Bagus Tirthayatra menilai, perkembangan instrumen EBA-SP di dalam negeri cukup positif. Pada lima tahun pertama kemunculannya, I Made menyebut, nilai penerbitan EBA-SP sebesar Rp 3,9 triliun. "Lima tahun terakhir sampai tahun ini, penerbitan EBA-SP terus bertumbuh dan sudah mencapai Rp 14,2 triliun," kata dia, Kamis (1/8).

Ia menambahkan, jenis aset yang disekuritisasi pun kian bervariasi, tak hanya KPR tetapi juga future cash flow, penerimaan jalan tol, tagihan listrik, bahkan tagihan tiket pesawat pun sudah bisa dijadikan portofolio aset EBA. Untuk itu, ia optimistis, pasar EBA-SP bisa kian ramai dengan kehadiran produk ritel seperti ini.

Kendati begitu, I Made Bagus tak menampik bahwa hingga saat ini, pengetahuan dan kesadaran investor soal instrumen investasi EBA-SP masih minim. Lantas, tingkat likuiditasnya pun masih kurang, terutama di kalangan investor ritel.

Senada, I Made Adi juga menilai faktor sosialisasi dan edukasi menjadi penting lantaran belum banyak investor ritel yang memahami EBA-SP. Namun, menurutnya hal tersebut tak semestinya jadi penghambat selama SMF dan pihak sekuritas terus memberi perkenalan meluas.

"Dulu waktu pertama ORI dan Sukuk Ritel keluar kan juga begitu, minat investor belum terbentuk padahal kuponnya terbilang tinggi sekitar 12%. Tapi seiring waktu, peminatnya tambah banyak dan sudah terkenal sekarang," kata dia.

Di sisi lain, I Made Adi melihat, EBA-SP Ritel ini cocok bagi investor pemula di pasar modal yang membutuhkan tingkat imbal hasil terukur. EBA-SP Ritel juga dinilai tepat jadi pilihan untuk memarkir dana menganggur milik para investor saham. Adapun, terkait likuiditas, ia menilai seharusnya investor tidak perlu khawatir karena SMF sendiri berkomitmen untuk menjadi market-maker dalam perdagangan instrumen ini di pasar sekunder.

"Risiko gagal bayar tetap ada, tapi melihat peringkat yang ada harusnya KPR yang menjadi aset dasar EBA-SP ini sudah diseleksi dengan baik. Beda dengan kasus Subprime Mortgage di AS tahun 2008 silam yang kualitas aset KPR-nya memang menyeramkan," imbuh dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat