KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mengkaji wacana pengembalian jam perdagangan bursa seperti sebelum pandemi. Saat ini, otoritas Bursa masih menunggu pernyataan resmi dari pemerintah terkait status Covid-19. “Sedang dikaji bersama dengan OJK terkait hal ini, sekaligus menunggu pandemi dinyatakan resmi berakhir,” terang Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Laksono Widodo, beberapa waktu lalu. Namun, pengembalian waktu perdagangan bursa juga dapat lebih cepat sebelum pengumuman status pandemi menjadi endemi. Tentunya, kebijakan tersebut bergantung dari hasil akhir
assessment bersama SRO dan OJK.
Baca Juga: Kapitalisasi Pasar Bursa Turun 1,96% atau Rp 182 Triliun Dalam Sepekan Hanya saja, Laksono menegaskan tidak ada tenggat waktu atau
deadline spesifik terkait wacana pengembalian jam perdagangan seperti semula. "Tidak ada
deadline spesifik karena situasinya bisa berubah sewaktu-waktu,” pungkas Laksono. Bersamaan, BEI juga akan mengembalikan aturan
auto rejection. Jika situasi sudah normal,
auto rejection bawah (ARB) akan dikembalikan lagi ke mode simetris. “Kalau sudah normal ya harus dikembalikan lagi ARB supaya simetris,” tutup Laksono.
Baca Juga: IHSG Merosot 2,11% Sepekan Hingga Jumat (17/6), Net Sell Asing Rp 1,35 Triliun Analis Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana memandang positif rencana BEI untuk menormalkan perdagangan di bursa. Hal ini seiring dengan kondisi fundamental pasar modal tanah air yang cukup tangguh. Berkaca pada performa tahun 2021, pasar modal tanah air bisa dikatakan solid dalam menghadapi pandemi, yang mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memiliki
return tahunan sebesar 10,1%.
Return ini menjadikan bursa saham Indonesia berada di peringkat enam dunia pada tahun 2021. Adapun indeks saham yang menghasilkan imbal hasil paling besar di dunia sepanjang tahun lalu adalah bursa saham Taiwan yakni mencapai 23%, disusul kemudian oleh bursa saham Amerika Serikat dengan
return 18,9%, Inggris dengan
return 14,5%, Australia dengan
return 14,5%, Thailand dengan
return 14,3%, kemudian Indonesia dengan
return 10,1%.
Baca Juga: Harga Saham BBRI & GOTO Kompak Anjlok di Perdagangan Bursa Jumat (17/6) Raditya menjabarkan, ada beberapa manfaat jika jam perdagangan bursa dan sistem
auto rejection menjadi simetris. Misalkan, rencana ini bisa meningkatkan nilai transaksi di pasar saham dan meningkatkan likuiditas pasar. “Pelaku pasar dapat memanfaatkan ARB simetris ini untuk membeli saham-saham yang terdiskon,” terang Raditya kepada Kontan.co.id, Minggu (19/6). ARB berjilid-jilid atau berhari-hari juga jarang ditemukan seperti saat ini. Senada, Praska Putrantyo, CEO Edvisor.id menilai, dengan wacana ini tentu saja investor bisa memiliki jam transaksi yang lebih panjang. Bagi para trader, mereka bisa mendapatkan peluang rentang perdagangan yang lebih lebar karena batas atas dan bawah yang simetris untuk setiap kategori fraksi harga masing-masing saham. “Saya melihat wacana ini menunjukkan pasar modal kita sudah merespon kondisi yang sudah lebih baik, dimana pandemi berpeluang menjadi endemi serta pemulihan ekonomi dan bisnis juga sudah mulai terlihat,” terang Praska kepada Kontan.co.id, Minggu (19/6).
Baca Juga: Hadapi Tren Kenaikan Suku Bunga, Simak Rekomendasi Susunan Portofolionya Di sisi lain, Kepala Riset Reliance Sekuritas Alwin Rusli menilai, pengembalian mekanisme
auto reject pastinya membuat pasar kembali fluktuatif dan volume transaksi saham akan tinggi. Ditakutkan, saham-saham yang kini sedang bergerak secara
bearish dapat melanjutkan penurunannya dengan sangat dalam. Meski demikian, dengan tingkat
auto rejection yang sangat dalam dapat membuat pantulan naik ke atas dapat semakin kuat juga. “Dengan demikian, pemilihan saham-saham yang berada di tier ketiga harus lebih hati-hati agar tidak terjebak dengan ARB yang sebegitu dalamnya,” terang Alwin. Terkait dengan pelaksanaan, Praska menyarankan sebaiknya BEI menunggu hingga status berubah menjadi endemi. Hal ini karena adanya kekhawatiran ancaman lonjakan kasus varian baru yang menyebabkan pemulihan ekonomi terhambat jika kembali diterapkan pembatasan mobilitas. Terlebih, saat ini ada ancaman inflasi yang tinggi dan terjadi tren kenaikan suku bunga yang membawa fluktuasi di pasar saham.
Baca Juga: IHSG Melemah Sepekan Terakhir, Begini Proyeksinya untuk Pekan Depan Raditya juga menilai, lonjakan kasus harian di tanah air bisa menjadi faktor fluktuasi bagi pasar saham. “Menurut kami, keputusan bijak yang diambil harus memastikan bahwa status pandemi sudah menjadi endemi dan makroekonomi global juga sudah menandakan pemulihan dengan melandainya inflasi global,” terang Raditya. Dari eksternal, Raditya merinci sejumlah sentimen yang bisa mempengaruhi bursa, seperti hubungan geopolitik Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung, inflasi global yang tinggi seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, serta potensi resesi di AS. Sementara menurut Praska, sentimen suku bunga The Fed, tren indeks manufaktur negara-negara besar, tren harga komoditas energi dan logam, serta tren imbal hasil obligasi AS masih menjadi faktor eksternal yang membayangi bursa. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati