Meningkatkan keamanan produk perikanan



Baru-baru ini, isu makanan bermasalah kembali ramai di masyarakat. Kali ini, terkait dengan 27 merek produk ikan makarel kemasan kaleng yang dinyatakan positif mengandung parasit cacing oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI).

Sebanyak 16 merek merupakan produk impor dan 11 merek lainnya produk lokal. Produk lokal yang mengandung parasit cacing juga memakai bahan baku dari negara sama yakni China. Temuan tersebut mau tak mau membuat masyarakat meningkatkan kewaspadaan, termasuk lebih selektif memilih olahan ikan kalengan.

Awalnya penemuan cacing dalam produk ikan kaleng terjadi hanya untuk tiga merek yaitu Farmerjack, IO, dan Hoki.  Namun, penemuan itu kemudian berkembang ke daerah lain dan jumlahnya pun meningkat hingga menjadi 27 merek (138 batch). Diduga cacing parasit tersebut berjenis anisakis sp. Hasil itu diperoleh dari sampel dan pengujian terhadap 541 sampel ikan makarel dalam kemasan yang terdiri dari 66 merek yang diperjualbelikan di Indonesia.  


Dalam Jurnal Kajian Veteriner, Edisi Desember 2016, dinyatakan bahwa cacing anisakis sp merupakan parasit yang disebabkan oleh cacing dari famili anisakidae dan tergolong zoonosis yang berbahaya. Cacing ini dapat menginfeksi berbagai jenis ikan laut terutama ikan yang memiliki rantai makanan panjang, seperti ikan makarel dan sarden.

Di antara genus anisakis ini, yang paling membahayakan adalah Anisakis simplex yang berada di negara subtropis. Cacing ini pada umumnya terdapat pada usus ikan, namun di Norwegia larva cacing anisakis simplex dapat memakan organ ikan hering (Karlsbakk et al, 2000).

Munculnya kasus cacing parasit dalam makanan kaleng itu sangat disayangkan, mengingat ikan makarel mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Ini menandakan bahwa produk perikanan tersebut memiliki kualitas bahan baku yang tidak baik.   

Ikan laut dan produk olahannya pada dasarnya memiliki banyak keunggulan dari segi nutrisi, baik makro nutrien (protein dan lemak) maupun mikro nutrien (mineral dan vitamin).  Namun ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (very highly perishable food). Sehingga membutuhkan penanganan khusus sejak ditangkap sampai di tangan konsumen. Tujuannya agar ikan tidak mengalami proses penurunan mutu akibat aktivitas enzimatis/autolisis, perubahan kimiawi khususnya oksidasi lemak, dan aktivitas mikrobiologi.   

Mutu ikan juga identik dengan kesegaran. Ikan yang baru ditangkap memiliki mutu tinggi, dan sebaliknya ikan yang sudah agak lama ditangkap akan bermutu rendah. Prinsip dasar pengolahan ikan adalah sekuat apapun usaha kita, hanya dapat mempertahankan mutu bahan baku perikanan.

Begitu dikeluarkan dari habitatnya di air, ikan akan berubah mutunya. Oleh karena itu mutu hasil perikanan harus dikendalikan tidak hanya pada aktivitas pasca panen, tetapi juga pada pra panen yakni penangkapan.

Jadi, upaya industri perikanan mengendalikan mutu produk perikanan terpadu agar dapat memberikan jaminan mutu secara menyeluruh menjadi keharusan. Perbaikan proses pengolahan diperlukan untuk menghasilkan produk yang konsisten sifat fungsionalnya dengan mutu dan nilai nutrisi yang tinggi serta aman bagi konsumen.  

Industri pengolahan ikan kaleng perlu memperhatikan keamanan produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengendalikan proses pengolahan dengan penerapan sistem manajemen keamanan pangan berupa Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).  Konsep HACCP harus diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan industri ikan kaleng.

Hubeis (1997) berpendapat bahwa penerapan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu pangan. Sehingga dapat dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.

Kebanyakan ikan impor

Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang pangan juga telah mengamanatkan keamanan pangan. Sebagai upaya untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia sehingga aman untuk dikonsumsi.  

Keamanan pangan perlu menjadi perhatian mendasar bagi kesehatan publik. Oleh karena itu, belajar dari kasus ikan makarel bercacing, upaya meningkatkan keamanan pangan produk perikanan perlu dilakukan di negeri maritim ini.  

Pertama, produk perikanan perlu ditangani dengan benar dari hulu hingga hilir melalui penerapan good practices di setiap lini untuk memenuhi standar mutu dan keamanannya. Persyaratan sanitasi wajib dipenuhi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan.

Kedua, pengecekan ikan impor harus diperketat sebelum didistribusikan. Penerapan level sistem  p penelusuran (traceability) terhadap bahan baku ikan impor mestinya dijalankan dengan maksimal.

Sebuah produk perikanan dinyatakan baik jika produk tersebut dapat dilacak asal-usulnya sejak mulai penangkapan di laut sampai ke tangan konsumen. Dari mulai penangkapan ikan di laut sampai retailer, ikan harus dapat dilacak benar keberadaannya. Berasal dari perairan mana, apakah dari perairan tercemar atau tidak, dan kapan waktu penangkapannya.

Ini berdampak pada sistem pencatatan yang harus rapih di setiap rantai distribusi. Di sisi lain, komitmen semua pihak untuk berupaya mengurangi ketergantungan impor kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan perlu dilakukan.

Ketiga, terkait standar mutu keamanan pangan, Badan Standar Nasional (BSN) yang berwenang mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) perlu mewajibkan parameter utama standar uji untuk melakukan uji parasit terhadap ikan beku dan ikan kaleng. Mengingat aturan teknis yang diberlakukan BSN soal uji ikan beku dalam SNI 4110.2014 yang ada hanyalah uji kimia, fisika, cemaran mikroba, cemaran logam, cemaran fisik. Sedangkan parameter cacing parasit tidak diperlukan.

Pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM KKP), BSN dan BPOM perlu sinergi dalam mewujudkan aturan standar mutu keamanan pangan produk perikanan khususnya bahan baku impor. Mengingat ikan yang terinfeksi parasit anisakis umumnya adalah ikan impor (Riani E, 2018).  

Akhirnya, kita berharap komitmen bersama semua pihak demi meningkatkan keamanan pangan produk perikanan sangatlah dibutuhkan sehingga gerakan memasyarakatkan makan ikan (Gemarikan) yang selama ini dikampanyekan bisa terus berjalan yang pada akhirnya berdampak positif pada kehidupan industri pengalengan ikan di Tanah Air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi