Meninjau prospek emiten sektor ritel pasca beleid kenaikan tarif PPh impor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum usai tantangan dari pelemahan nilai tukar rupiah, kini kinerja emiten sektor ritel diselimuti sentimen lain yakni kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk membatasi impor sejumlah barang konsumsi.

Resmi berlaku sejak 13 September lalu, beleid ini akan memengaruhi pembayaran pajak sejumlah emiten yang mengandalkan barang maupun bahan baku impor dalam produksinya. Namun, sejauh apa kah dampak tersebut bagi kinerja mereka? Sebagai informasi, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2018 tentang pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

Peraturan baru ini adalah revisi dari PMK Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 impor. Kenaikan tarif PPh berlaku bagi ragam barang, antara lain produk tekstil, perlengkapan elektronik, dan keramik yang pajaknya naik dari 2,5% menjadi 7,5%.


Ada juga barang konsumsi yang sudah dapat diproduksi dalam negeri seperti kosmetik, shampo, dan lampu yang mengalami kenaikan tarif dari2,5% menjadi 10%. Juga barang mewah seperti mobil dan motor yang tarif pajaknya naik dari 7,5% menjadi 10%. Analis RHB Sekuritas Michael Wilson Setjoadi, berpendapat, pemberlakuan kenaikan tarif PPh impor akan berdampak pada emiten sektor ritel. "Tapi, hanya kena di working capital bagi emiten yang mengimpor banyak barang. Kenaikan working capital perkiraannya 2,5%-7,5%," kata Michael, Jumat (14/9). Kenaikan tarif tersebut, Michael mengingatkan, pada dasarnya akan menjadi pemotong bagi PPh 25 dan PPh 29 emiten pada akhir tahun nantinya. Jadi, seharusnya tidak ada dampak bagi kinerja keuangan emiten, baik di sisi pendapatan maupun laba bersih. Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya, sepakat, kenaikan tarif impor barang konsumsi sejatinya tidak akan mengusik kinerja emiten sektor ritel. "Perusahaan hanya jadi harus bayar pajak lebih besar di awal, tapi di akhir tahun mereka akan menerima pemotongan tarif pajak. Jadi, sama saja," ujar Christine, Jumat (14/9). Justru, Christine menilai, kenaikan tarif impor tersebut bisa menjadi peluang bagi emiten-emiten pemain besar di sektor ritel. Menurutnya, kebijakan pemerintah ini akan menghambat kompetitor berskala lebih kecil yang kurang taat pajak.

"Kalau emiten besar, misalnya ACES, tidak masalah dengan kebijakan ini karena toh cashflow mereka besar," pungkas dia. Kendati begitu, sektor ritel masih harus mengantisipasi sentimen pelemahan kurs rupiah. Analis Senior Paramitra Alfa Sekuritas William Siregar, mengaku telah merevisi turun pekiraan pertumbuhan penjualan semiten sektor ritel secara keseluruhan dari sebelumnya 7% menjadi 5%-6% untuk tahun ini. "Outlook masih tetap netral sejak awal tahun, hanya prediksi pertumbuhan saja yang direvisi turun karena pelemahan rupiah akan berdampak pada penyesuaian harga jual rata-rata (ASP) yang kemudian memengaruhi daya beli konsumen," papar William, Jumat (14/9). Senada, kenaikan harga jual dan tergerusnya margin, menurut Michael, menjadi risiko yang masih harus dihadapi sektor ritel sampai akhir tahun ini. Terutama, oleh emiten yang memiliki porsi impor tinggi. "Misalnya, ERAA porsi impor dari keseluruhan produknya mencapai 40%-50%, MAPI sekitar 50%, dan ACES paling besar yaitu 60%-70%," kata Michael. Namun, di antara emiten tersebut, Michael masih cukup optimistis pada kinerja MAPI. Meski porsi impornya masih tinggi, namun emiten peritel fashion, sport, department store dan restoran siap saji ini sudah menyiapkan hedging sampai batas kurs rupiah Rp 15.000.

"Jadi, perusahaan tidak akan menaikkan harga selama rupiah masih di bawah batas itu. MAPI juga masih memiliki peluang dari divisi aktifnya, Sport Station dan Planet Sports, serta pertumbuhan fashion di Vietnam," tutur Michael. Segendang sepenarian, saham MAPI juga masih menjadi salah satu gacoan William. Alasannya, William mengatakan, rasio sensitivitas pelemahan rupiah terhadap penjualan MAPI ternyata hanya 0,04%. "Itu karena MAPI sudah melakukan stok dalam jumlah besar dari jauh hari sebelum rupiah melemah. Selain itu, segmentasi sasarannya juga menengah ke atas yang daya belinya notabene tidak terlalu terlalu terganggu," ujar William. Untuk itu, William merekomendasikan beli saham MAPI dengan target harga Rp 1.200. Michael juga memberi rekomendasi beli MAPI dengan mematok target harga Rp 1.050 per saham. Selanjutnya, kedua analis itu juga merekomendasikan beli saham LPPF untuk alasan yang sama, yakni valuasinya yang murah. Menurut William, meski kinerja penjualannya cenderung datar di paruh pertama tahun ini, harga saham LPPF memiliki potensi upside yang besar ketimbang emiten pengelola department store lainnya. William memberi rekomendasi beli LPPF dengan target harga Rp 8.800, sedangkan Michael lebih optimistis lagi dan menargetkan harga Rp 11.000 untuk emiten pengelola gerai Matahari tersebut. Adapun, Christina lebih memilih RALS lantaran marginnya yang masih stabil, potensi dari seasonality, serta efisiensi yang dilakukannya. Christine memberi rekomendasi trading buy RALS dengan target harga Rp 1.600 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti