Belakangan ini isu perdagangan internasional cukup pelik, terutama bagi Indonesia. Setidaknya gaduh pelarangan sawit Indonesia oleh Uni Eropa dan ancaman perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas generalized system of preferences (GSP) yang sangat menguntungkan ekspor Indonesia ke AS. GSP merupakan kebijakan yang memberikan insentif fiskal berupa pemotongan bea masuk impor yang biasa diberikan negara maju kepada negara berkembang. Sehingga fasilitas GSP dari AS memberikan keuntungan bagi ekspor Indonesia ke AS. Perubahan kebijakan perdagangan AS dibawah Trump yang sangat proteksionis, mengedepankan American First berencana melakukan peninjauan ulang terhadap GSP yang didapatkan Indonesia beserta India dan Kazakhstan. Alasannya karena selama ini AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan ketiga negara tersebut.
Ancaman serius AS akan membuat ekspor Indonesia ke AS tertekan. Paman Sam merupakan pasar tradisional dari ekspor Indonesia. Implikasi serius dari ancaman koreksi perdagangan AS-Indonesia adalah kinerja ekspor Indonesia yang belum juga memuaskan. Setidaknya empat penyebab terus merosotnya kinerja perdagangan indonesia. Pertama, tingginya impor. Kedua, masih dominannya ekspor komoditas di tengah melambatnya permintaan dan penurunan harga komoditas. Ketiga, ekspor yang tidak kompetitif dibanding negara seperti Thailand dan Vietnam. Keempat, struktur pasar ekspor yang tidak banyak berubah. Tiga dari empat sebab lebih dikarenakan pada struktur ekonomi politik domestik. Seperti lemahnya negara memacu industrialisasi, regulasi yang berbelit, tingkat korupsi yang tinggi, jeleknya infrastruktur, dan sebagainya. Intinya ketika boom comodity yang membuat permintaan akan komoditas besar sejak tahun 2000-an sampai tahun 2012–2013 tidak dibarengi dengan proses industrialisasi yang dapat menggeser ekspor indonesia dari komoditas ke bidang manufaktur. Selain itu reformasi ekonomi yang masih setengah jalan juga membuat mahalnya ongkos produksi dan distribusi menyebabkan Indonesia kurang kompetitif dibanding negara lain. Faktor terakhir adalah struktur pasar yang tidak berkembang. Ketika ekonomi global mulai mengalami pergeseran, Indonesia tidak kunjung merespon dengan penetrasi diplomasi ekonomi yang terukur dan jangka panjang. Yang mengemuka di publik adalah diplomasi ekonomi Indonesia masih sangat sporadis dan reaktif terutama ketika Uni Eropa melarang ekspor sawit Indonesia atau sikap Trump untuk meninjau kembali GSP yang didapatkan Indonesia. Jangan ke sana ke mari Diplomasi ekonomi Indonesia seakan tanpa bargaining chip dalam menghadapi Uni Eropa atau AS. Sejauh ini sebatas diplomasi ekonomi yang reaktif dengan mengancam balik (tit for tat) dengan berencana melakukan sikap yang sama yaitu melakukan peninjauan ulang impor Indonesia dari AS. Keputusan Indonesia untuk melakukan tit for tat cukup dimengerti, mengingat tidak ada kesepakatan yang kuat dan mengikat serta alternatif lain yang menggantikan pasar Uni Eropa maupun AS. Padahal bila Indonesia secara serius menggarap diplomasi ekonomi, tidak hanya mampu memperluas pasar tradisional, tapi juga dapat memanfaatkan status sebagai negara berkembang untuk mendorong laju ekspor. Lemahnya diplomasi sawit akibat lamanya perundingan Indonesia Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Apabila Indonesia menyepakati IEU-CEPA, Uni Eropa UE tidak akan seenaknya memberlakukan resolusi sawit. Selain itu tanpa IEU-CEPA, Indonesia juga tidak mendapatkan fasilitas GSP. Riset Yose Rizal Damuri, dkk dalam Study On The Impact Of An Eu-Indonesia CEPA (2015) membuat simulasi apabila Indonesia menyepakati IEU-CEPA dengan kondisi bukan lagi sebagai negara berkembang atau tidak mendapatkan fasilitas GSP, Indonesia kehilangan sekitar 12 % total perdagangan dibandingkan ketika Indonesia masuk dalam skema GSP. Begitu juga AS, apabila a kehilangan fasilitas GSP, Indonesia akan mengalami kerugian setidaknya 19% dari total ekspor Indonesia ke AS. Berbanding terbalik dengan Indonesia, Vietnam misalnya sangat agresif dalam melakukan kesepakatan dagang multilateral. Selesainya Vietnam - Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement misalnya memberikan momentum Vietnam menggenjot ekspor ke Uni Eropa karena mendapatkan fasilitas GSP. Berlarut-larutnya negosiasi blok dagang prioritas seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Indonesia-Australia CEPA (IA-CEPA) akan semakin membuat Indonesia kehilangan momentum. Molornya IA-CEPA misalnya, membuat Indonesia kehilangan momentum memacu ekspor otomotif ke Australia. Indonesia tidak dapat memanfaatkan lesunya industri otomotif Australia, karena kalah kompetitif dengan Thailand, negara Asia Tenggara terbesar pengekspor otomotif ke Australia. Selain itu peningkatan kapasitas ekspor guna mendorong pertumbuhan membutuhkan dukungan diplomasi ekonomi yang juga kuat. Semua pemangku kebijakan terutama Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian satu padu dan tidak lagi ego sektoral. Sudah seharusnya diplomasi ekonomi Indonesia sangat agresif, pragmatis, terukur dan jangka panjang. Dalam percepatan kesepakatan pakta dagang internasional terutama fokus pada penyelesaian pakta dagang yang prioritas. Seperti IA-CEPA, RCEP, dan IEU-CEPA, atau bahkan masuk dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) sebagai reinkarnasi dari TPP. Fokus dan konsistensi menjadi faktor penting dari diplomasi ekonomi. Lebih baik diplomasi ekonomi Indonesia fokus pada pakta dagang prioritas daripada ke sana-ke mari banyak membuat kerjasama blok dagang tapi setengah-setengah.
Dalam dunia persilatan, ada diktum takutlah pada pesilat yang hanya memiliki satu jurus, tapi jago banget. Daripada terhadap pesilat yang memiliki banyak jurus, tapi setengah-setengah. Jadi teringat kata Bruce Lee I fear not the man who has practiced 1.000 kicks once, but I fear the man who has practiced one kick 1.000 times.•
Rafli Zulfikar Peneliti Center for International Studies and Trade Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi