Meniti peluang bisnis augmented reality



Kemajuan teknologi telah mengubah banyak aspek dalam peradaban, termasuk dalam aktivitas bisnis. Lima tahun yang lalu, kacamata pintar Google Glass mungkin hanya bisa dibayangkan. Tapi,  sejak tahun lalu, perangkat kacamata itu mulai diproduksi meski sangat terbatas. Sama halnya dengan teknologi teranyar, yaitu augmented reality (AR).

Secara sederhana, augmented reality bisa diartikan sebagai realitas tertambah. Teknologi ini menggabungkan benda maya dua dimensi atau pun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata tiga dimensi, lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut dalam waktu nyata. Tak seperti teknologi terdahulunya, virtual reality, yang sepenuhnya menggantikan kenyataan, realitas tertambah sekadar menambahkan atau melengkapi kenyataan.  

Kalau Anda mengingat game pada ponsel Symbian awal, seperti menembak nyamuk atau membasmi virus beterbangan, mungkin bisa membantu Anda memahami AR. Pada permainan itu, kamera ponsel menjadikan dunia nyata sekitar kita sebagai arena permainan, sementara di layar ponsel akan terlihat objek yang seolah-olah berada di sekitar kita.


AR bukanlah teknologi yang baru-baru amat. Beberapa tahun belakangan, Anda bisa melihat contoh teknologi ini pada tayangan pertandingan sepakbola. Di layar televisi, Anda bisa melihat pesan iklan pada lapangan sepakbola. Padahal, pada kenyataannya, di lapangan tidak ada pesan itu.

Teknologi AR kerap digunakan perusahaan atau brand untuk berpromosi. Kecanggihan teknologi ini bisa jadi strategi untuk menarik perhatian masyarakat. Wujud dari teknologi ini sangat beragam. Ada brand yang mengaplikasikan teknologi ini pada saat peluncuran produk. Bahkan, teknologi ini bisa digunakan untuk membuat game atau permainan, serta penyediaan informasi sebuah objek.

Adalah AR&Co yang mengklaim diri sebagai pionir teknologi augmented reality di tanah air. AR&Co merupakan salah satu lini bisnis milik WIR Global yang didirikan Daniel Surya pada 2009. Direktur AR&Co Krisni Lee mengatakan, sejak awal, perusahaan ini memang mengincar perusahaan besar. Sosro dan Telkom merupakan klien pertama perusahaan ini.

Krisni mengakui, dulu cukup sulit meyakinkan klien untuk menggunakan augmented reality sebagai strategi pemasaran. Maklum, waktu itu, AR sangat asing di telinga. Namun, AR&Co berhasil menggaet perusahaan tersebut. Proyek pertamanya ialah aplikasi AR pada kemasan teh celup Sosro. Ia menjelaskan, penggunaan AR bisa meningkatkan brand awareness.

Pasar dalam negeri untuk teknologi ini sangat besar. Terbukti, dari tahun ke tahun, masyarakat semakin mengenal manfaat teknologi AR. Otomatis, klien pun bertambah tiap tahun. Sejak awal tahun, AR&Co sudah mengerjakan sekitar 35 proyek. “Pertumbuhan jumlah proyek bisa naik hingga 50% per tahun,” sebut dia.

Krisni melanjutkan, teknologi AR bisa dikreasikan sedemikian rupa berdasarkan objek dari sebuah produk atau jasa. “Penggabungan kreativitas dan teknologi menghadirkan sesuatu yang menarik bagi klien,” jelas dia.

Dus, klien bisa memilih sendiri bagaimana menerapkan teknologi ini untuk strategi pemasaran. Nanti, tim AR&Co yang mewujudkannya. Untuk menggunakan jasa AR&Co, Krisni bilang, biaya yang ditetapkan mulai Rp 150 juta–Rp 200 juta per proyek. Saat ini konsep bisnis AR&Co sepenuhnya business to business (B2B). Namun kelak, tak menutup peluang untuk konsep bisnis yang langsung menyasar konsumen pengguna teknologi AR.

Krisni menekankan potensi pasar untuk industri kreatif ini sangat besar. Setiap perusahaan sejatinya bisa menggunakan teknologi AR untuk mengembangkan bisnis. Namun, saat ini masih sebagian kecil perusahaan yang menyadari hal itu.

Selain AR & Co, ada juga perusahaan digital yang melirik peluang bisnis dari teknologi AR, yakni Anantarupa Studio. Ivan Chen, Founder Anantarupa Studio, menuturkan, sejak 2009, ia sudah punya ide yang berkaitan dengan teknologi AR. Saat itu, Ivan mencanangkan program digitalisasi aset budaya nasional menggunakan AR.

Awalnya, Ivan kesulitan mendapatkan klien untuk mendanai program tersebut. Pada 2012, barulah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyambut program yang dinamai Arhibition tersebut. Ivan pun mendokumentasikan kebudayaan dari 11 provinsi di dalam negeri, seperti pakaian adat, tari-tarian, senjata, dan rumah adatnya. Akan tetapi, program ini harus berhenti di tengah jalan karena terjadi transisi internal di kementerian tersebut.

Bukan berarti Ivan tak lagi mengerjakan proyek yang menggunakan teknologi AR. Ia menerima proyek untuk aktivasi brand beberapa perusahaan, seperti Samsung dan Suzuki. Anantarupa Studio mematok tarif Rp 75 juta–Rp 100 juta untuk tiap proyek yang dikerjakan. “Itu untuk proyek sederhana,” katanya.

Dalam setahun, Anantarupa Studio bisa mendapatkan sepuluh klien hingga lima klien. Menurut Ivan, dari proyek yang dikerjakan ia bisa meraup laba bersih sekitar 35%.

Edukasi pasar Anda tertarik menekuni bisnis ini? Keahlian dalam memproduksi karya digital tentu sangat penting bagi mereka yang tertarik merintis usaha ini. Mari belajar dari pengalaman Ivan dalam merintis Anantarupa Studio pada 2011.

Ivan bercerita, dulu ia membangun perusahaan tanpa modal lantaran berawal dari suatu proyek. Dari proyek itulah, ia membayar gaji untuk tiga orang karyawannya. Akan tetapi, ia tidak merekomendasikan cara itu untuk juga dilakukan oleh pemain lain. “Ketika dana proyek habis, pengusaha akan kelimpungan untuk membayar biaya operasional,” tuturnya.

Menurut Ivan, sekarang kebanyakan mahasiswa masuk ke industri kreatif dengan cara seperti itu. Namun, dengan catatan, mereka tidak memikirkan biaya operasional. Sementara, kalau mau masuk ke industri ini secara profesional, pengusaha harus berpikir dalam jangka panjang, seperti untuk membayar gaji karyawan dan lain-lain.

Sekarang, Anantarupa Studio memiliki 30 orang karyawan yang terbagi dalam tiga divisi, yaitu divisi produksi, 2D artist, dan 3D artist. Untuk mengerjakan proyek dengan teknologi AR, Ivan bilang, dibutuhkan tiga orang hingga lima karyawan.

Mudahnya, proses pengerjaan dimulai dengan pemaparan konsep dari klien atau agensi yang dipilih klien. Bila konsep itu sudah final, maka dimulailah proses produksi yang melibatkan proses pembuatan animasi, efek dua dimensi hingga tiga dimensi. Kemudian, masuk pada proses programming. “Setelah itu proyek sudah siap, tinggal dites lalu diserahkan pada klien,” ucap ivan.

Sementara itu, di AR&Co, proyek AR melibatkan tiga orang programmer dan tiga orang supervisor. Untuk tiap proyek, lama pengerjaan beragam, mulai dari empat minggu. Adapun total karyawan AR&Co berjumlah 40 orang. Menurut Krisni, perusahaan digital seperti AR&Co tak kesulitan menemukan tenaga kerja yang ahli di bidang teknologi.  

Krisni menuturkan, ada dua elemen penting dalam teknologi AR, yaitu kreativitas dan teknologi itu sendiri. Ketika dua elemen ini dikerjakan oleh tim yang solid akan membuat perusahaan mampu menelurkan karya yang memuaskan klien. “Kami punya research and development department sehingga teknologi akan terus dikembangkan,” tambah Krisni.

Sejauh ini, Krisni belum melihat persaingan yang berarti dalam industri kreatif yang berkaitan dengan teknologi AR. “Kuenya besar, sementara pemain masih sedikit,” tegasnya. Nah, yang jadi tantangan dari usaha ini tak hanya meningkatkan jumlah klien tapi juga meningkatkan kesadaran bahwa teknologi AR bisa jadi solusi teknologi untuk produk mereka.

Ivan membantah bahwa teknologi AR akan berakhir jadi tren semata. Menurut dia, masih banyak kreativitas yang bisa digali melalui teknologi AR. “Sejauh ini, yang tergantikan hanya surat-menyurat. SMS tidak menggantikan email. Whatsapp tidak menggantikan SMS. Tapi AR ini merupakan teknologi baru di tingkat yang lebih tinggi,” tegasnya.

Kebanyakan perusahaan menggunakan teknologi AR untuk sekadar brand aktivasi atau menarik pengunjung dalam event. Ivan berharap, di masa mendatang, klien bisa lebih berani dalam mendukung perusahaan digital untuk mengembangkan ide.

Pasalnya, menurut Ivan, teknologi AR bisa digunakan untuk tujuan yang lebih, yakni untuk mengikat konsumen, misalnya dengan membuat game. Namun, belum ada perusahaan Indonesia yang melakukannya. “Yang terjadi adalah kami siap untuk berkreasi, sementara perusahaan belum sampai ke tahap itu,” ujar dia.

Hal serupa diucapkan Krisni. Di internal perusahaan AR&Co, tantangan yang menarik ialah terus meningkatkan kreativitas dan mengikuti perkembangan teknologi, terutama augmented reality. Dengan demikian, perusahaan bisa terus menghasilkan karya baru dan menarik.

Krisni menambahkan, saat ini target pasar untuk teknologi ini memang perusahaan. Namun, ia tak menampik bahwa di masa mendatang, AR bisa jadi bagian dalam hidup manusia alias bisa digunakan dalam keseharian masyarakat. Buktinya, kini berkembang aplikasi berbasis AR.  “Perkembangan teknologi semakin cepat, jadi mungkin dalam beberapa tahun lagi kita bisa melihat aplikasi teknologi AR yang lebih fantastis dari yang ada sekarang,” tuturnya

Pasar tak terbatas hingga luar negeri Mungkin nama perusahaan AR&Co dan Anantarupa Studio belum terlalu akrab di telinga Anda. Namun, dua perusahaan yang berbasis teknologi ini sudah bersaing di industri kreatif secara internasional, lo.

Karya-karya digital yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut tak hanya dibuat untuk pasar dalam negeri. Maklum, kemajuan teknologi semacam meruntuhkan batas geografis. Dus, banyak orang luar negeri yang juga bisa menikmati, bahkan memesan proyek pada dua perusahaan digital yang menggunakan teknologi augmented reality tersebut.

Tengok saja AR&Co yang baru-baru ini terlibat dalam kampanye di Nigeria dengan membuat aplikasi berbasis mobile berjuluk Next for Nigeria. Direktur AR&Co Krisni Lee bilang aplikasi yang dibuat dengan teknologi AR itu memenangkan kategori “Best Augmented Reality Campaign” pada ajang Augmented Reality Expo 2015 di Silicon Valley, Amerika Serikat.

AR&Co memang sangat serius mengembangkan sayap di jalur industri kreatif berbasis teknologi. Bahkan, perusahaan ini mempunyai beberapa kantor representasi di luar negeri, antara lain di London, Barcelona, New York, dan Singapura. Krisni bilang, memang tidak ada perbedaan penggunaan teknologi AR di dalam maupun di luar negeri.

Demikian pula dengan Anantarupa Studio, yang kerap menjalin kerjasama dengan perusahaan luar negeri dalam membuat aplikasi. Ivan Chen, pendiri Anantarupa Studio, cukup selektif memilih klien. Mayoritas klien Anantarupa merupakan perusahaan luar negeri. Pasalnya, menurut Ivan, klien dari luar negeri lebih enak diajak komunikasi mengenai teknologi AR. “Mereka lebih paham dengan kualitas yang bisa kami berikan,” katanya.

Ivan menambahkan, teknologi AR memang bisa digunakan dalam banyak karya digital. Namun, karya yang paling berpotensi dari segi bisnis ialah pembuatan game atau permainan. Pasalnya, saat ini game merupakan industri kreatif terbesar di dunia. “Pendapatan dari game itu enam kali lipat lebih besar dibandingkan pendapatan industri film Hollywood,” tuturnya.

Sayang, menurut Ivan, pemerintah Indonesia belum memberi banyak dukungan untuk industri ini. Berbeda dengan pemerintah Malaysia yang bersedia mendanai sebesar 50% dari total biaya untuk pembuatan karya animasi di negara itu.                            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi