JAKARTA. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota International Cocoa Organization (ICCO) memberikan peluang bagi Indonesia untuk bisa ikut menentukan kebijakan global bagi industri kakao. Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan, Indonesia seharusnya tidak sekadar reaktif dan pasif menerima kebijakan internasional tanpa melakukan hal apa-apa. Soalnya dengan telah ditandatanganinya Internasional Cocoa Agreement pada 12 September 2011, sekaligus menandai masuknya Indonesia pada keanggotaan ICCO, Indonesia mendapat kemudahan akses dalam mengekspor produk kakao ke negara anggota.Selain itu, Indonesia pun akan mendapat kemudahan mengakses data dan informasi terkait produksi atau kebutuhan dunia, hasil penelitian atau pengembangan kakao, hasil studi atau kajian ilmiah secara ekonomi dan teknis, serta kemungkinan memperoleh bantuan proyek atau teknis. Lalu, Indonesia akan mendapat fasilitas forum konsultasi untuk mengatasi masalah terkait kakao seperti kasus perdagangan, kualitas produk, serta penyakit kakao.Bahkan, keanggotaan itu akan memberikan peluang bagi para eksportir untuk berdialog langsung dengan importir atau negara-negara konsumen. Namun, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, menyayangkan, keanggotaan Indonesia pada organisasi itu terbilang terlambat. Padahal, Indonesia menduduki peringkat tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana sebagai pengekspor kakao terbesar.Meski demikian, hal itu akan membuat Indonesia mengekspor kakao dan produk turunannya tanpa ragu dan dipermainkan importir asing. Selain itu, keanggotaan itu akan membuat Indonesia memiliki hak membuat kebijakan global yang pro-petani. "Ini juga jadi peluang untuk memperjuangkan agar industri pengolahan kakao pindah ke Indonesia," ujarnya.Berdasarkan data ICCO 2009, Pantai Gading menguasai pangsa pasar sebesar 38,7% atau setara dengan ekspor 1,22 juta ton per tahun. Posisi kedua dipegang Ghana dengan pangsa pasar sebesar 21,6% atau setara dengan 680.000 ton per tahun. Lalu, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan pangsa pasar sebesar 16,2% atau setara dengan 540.000 ton per tahun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menjadi anggota ICCO, Indonesia bisa tentukan kebijakan ekspor kakao
JAKARTA. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota International Cocoa Organization (ICCO) memberikan peluang bagi Indonesia untuk bisa ikut menentukan kebijakan global bagi industri kakao. Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan, Indonesia seharusnya tidak sekadar reaktif dan pasif menerima kebijakan internasional tanpa melakukan hal apa-apa. Soalnya dengan telah ditandatanganinya Internasional Cocoa Agreement pada 12 September 2011, sekaligus menandai masuknya Indonesia pada keanggotaan ICCO, Indonesia mendapat kemudahan akses dalam mengekspor produk kakao ke negara anggota.Selain itu, Indonesia pun akan mendapat kemudahan mengakses data dan informasi terkait produksi atau kebutuhan dunia, hasil penelitian atau pengembangan kakao, hasil studi atau kajian ilmiah secara ekonomi dan teknis, serta kemungkinan memperoleh bantuan proyek atau teknis. Lalu, Indonesia akan mendapat fasilitas forum konsultasi untuk mengatasi masalah terkait kakao seperti kasus perdagangan, kualitas produk, serta penyakit kakao.Bahkan, keanggotaan itu akan memberikan peluang bagi para eksportir untuk berdialog langsung dengan importir atau negara-negara konsumen. Namun, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, menyayangkan, keanggotaan Indonesia pada organisasi itu terbilang terlambat. Padahal, Indonesia menduduki peringkat tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana sebagai pengekspor kakao terbesar.Meski demikian, hal itu akan membuat Indonesia mengekspor kakao dan produk turunannya tanpa ragu dan dipermainkan importir asing. Selain itu, keanggotaan itu akan membuat Indonesia memiliki hak membuat kebijakan global yang pro-petani. "Ini juga jadi peluang untuk memperjuangkan agar industri pengolahan kakao pindah ke Indonesia," ujarnya.Berdasarkan data ICCO 2009, Pantai Gading menguasai pangsa pasar sebesar 38,7% atau setara dengan ekspor 1,22 juta ton per tahun. Posisi kedua dipegang Ghana dengan pangsa pasar sebesar 21,6% atau setara dengan 680.000 ton per tahun. Lalu, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan pangsa pasar sebesar 16,2% atau setara dengan 540.000 ton per tahun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News