Menjadi Jurangan Rambut Palsu karena Tak Lekang oleh Waktu



ngudiono_rambutUPAYA mempercantik atau mempertampan diri memang tak ada habisnya. Termasuk mereka yang ada masalah dengan rambut. Buat yang kepalanya gersang, saat ini sudah tersedia beragam model rambut palsu atau wig. Tapi, tak hanya yang berkepala botak atau berambut tipis, kini artis cantik pun suka mengenakan wig demi menjaga penampilan. Tak hanya itu, mereka juga melengkapinya dengan bulu mata palsu nan lentik. Bisa dibilang, kebutuhan wig tak lekang oleh zaman. Orang mengenal rambut palsu sejak berabad-abad silam. Maka, tak perlu heran jika pengusaha wig atau bulu mata palsu terus bermunculan. Salah satunya adalah Ngudiyono, pemilik perusahaan wig dan bulu mata palsu: Fair Lady. Ia bahkan mampu bertahan hingga puluhan tahun. Ngudiyono adalah salah satu pengusaha wig dan bulu mata palsu terkenal asal Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Karangbanjar sendiri sudah lama terkenal sebagai sentra industri wig dan bulu mata palsu. Ratusan rumahtangga di desa ini memang menggantungkan hidupnya dari usaha turun-temurun ini. Termasuk juga Ngudiyono. Namun, sebelum mengecap nikmatnya sukses seperti sekarang, Ngudiyono harus melalui jalan berliku terlebih dulu. “Pada tahun 1975 sampai 1978 saya sempat menjadi pembantu rumahtangga di Mangga Besar, Jakarta,” kenang lelaki kelahiran tahun 1958 ini. Ngudiyono juga merasakan menjadi office boy alias pesuruh di pabrik bumbu masak Miwon di Pulo Gadung. Tapi, di pabrik itu, dia hanya bertahan dua tahun lantaran dipecat. “Gara-garanya, dikasih cuti pulang kampung dua hari, saya malah enggak masuk lima hari,” tutur lelaki yang tidak tamat sekolah dasar (SD) ini. Setelah dipecat, Ngudiyono pun memutuskan emoh kembali ke Jakarta. Bersama istrinya, dia tinggal bersama mertua. Beruntung, Ngudiyono memiliki keterampilan membuat cemara atau konde palsu. Sejak itu pula, Ngudiyono bertekad jadi pengusaha konde. Dia mengawali usahanya dengan modal Rp 47.500, hasil dari berjualan barang bekas dan dari perolehan arisan. “Uang itu saya belikan tiga karung rambut asli,” kenang dia. Dari bahan baku itu, Ngudiyono berhasil membuat beberapa cemara. Dia kemudian menjualnya ke Pasar Tanah Abang dan beberapa pasar lain di Jakarta. “Ternyata mereka suka dan laku,” kata Ngudiyono. Namun, Ngudiyono tak mau boros. Keuntungan dari penjualan itu ia putar lagi menjadi modal usaha. Demikian terus, hingga Ngudiyono mampu mengembangkan usahanya. Kalau semula hanya menjual, ia bisa memproduksi sanggul, lungsem (rambut sambungan), dan wig. Keuntungan pun membesar, sehingga Ngudiyono tak perlu menyisihkan semuanya untuk modal. Bahkan dari keuntungan itu, dia bisa membeli rumah. “Meski rumah reyot tak masalah, yang penting usaha jalan terus,” ujar bapak tiga anak ini. Bisnis Ngudiyono kian moncer. Hingga, pada 1985, ia memutuskan merekrut pegawai dan mendirikan perusahaan bernama Fair Lady. “Nama itu saya dapat dari Salon Fair Lady di Cirebon yang membeli produk saya,” ujar Ngudiyono. Ngudiyono mengucurkan modal sebesar Rp 900.000 untuk perusahaannya itu. “Sebanyak Rp 400.000 dari keuntungan dan sisanya Rp 500.000 dari pinjaman bank,” kata lelaki yang akrab dipanggil Diyo ini. Perusahaan ini berkembang lumayan pesat meski Ngudiyono masih menerapkan sistem pemasaran dari toko ke toko di Jakarta, Surabaya, hingga Medan. “Omzet per bulan saat itu Rp 5 juta,” kenang Diyo. Bintang terang Ngudiyono makin berbinar setelah dia menerima order dari Rudy Hadisuwarno Salon. Saat itu, salon milik penata rambut kondang itu membeli produk Fair Lady senilai Rp 600.000. Tapi, Ngudiyono hampir saja menerima Rp 6 juta karena ada kesalahan penulisan angka. “Karena tahu itu keliru, saya tolak,” ujar dia. Sejak saat itu, Salon Rudy sangat percaya dengan kejujuran Diyo. “Sampai sekarang, mereka masih membeli produk Fair Lady,” tutur Diyo. Berkah krisis moneter Jumlah karyawannya pun bertambah hingga 20 orang. Produk Ngudiyono pun mulai merambah mancanegara. Soalnya, perusahaan rambut palsu asal Korea Selatan yang menjamur di Purbalingga membeli rambut setengah jadi buatan Fair Lady. “Saya dipinjami mereka Rp 15 juta untuk membeli bahan baku,” kata Ngudiyono. Kini, Ngudiyono mempunyai 35 pegawai. Saban bulan, ia mampu menjual 500 kg rambut dan bulu mata palsu dengan omzet Rp 300 juta. “Untung bersihnya 20%,” ujar dia.
Rambut Sintetis Dijamin Halal Puncaknya, Ngudiyono berjaya saat krisis menghantam Indonesia pada 1997–1998. Soalnya, buntut dari melangitnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, pendapatan dari ekspor pun menggemuk. “Satu bulan, saya menjual sampai satu ton dengan omzet ratusan juta rupiah,” ungkap Ngudiyono. Sebagian kalangan menilai, memakai rambut palsu atau menyambung rambut dengan rambut orang lain itu haram. Penilaian ini jelas mengancam bisnis rambut palsu. Ngudiyono, pemilik Fair Lady di Purbalingga, Jawa Tengah, sempat khawatir dengan masalah tersebut. Tapi, agar usahanya tidak sepi order, Ngudiyono membuat rambut palsu dari bahan sintetis yang kini banyak beredar. “Agar yang yakin memakai rambut palsu haram tetap bisa memakai rambut palsu,” ujar Ngudiyono. Tapi, rambut palsu dari bahan sintetis ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dibandingkan rambut asli. “Rambut sintetis memang lebih ringan, tapi sedikit gerah. Sedangkan rambut asli lebih adem, tapi berat,” ujar Ngudiyono. Soal harga, rambut palsu dari bahan sintetis memang sedikit lebih murah ketimbang rambut asli. “Karena harga bahan baku rambut sintetis juga lebih murah,” ujar dia. Misalnya, produk lungsem dari rambut asli dijual Rp 25.500 per item, lebih mahal dari bahan sintetis yang cuma Rp 22.000 per item. Sudah begitu, pasokan bahan rambut sintetis relatif stabil dibandingkan dengan rambut asli. “Waktu krisis keuangan akhir 2008 lalu, harga bahan baku rambut asli sempat naik drastis,” tutur Ngudiyono. Beruntung, kini harga bahan baku sudah kembali normal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie