Menjaga Ekonomi RI di Tengah Gonjang-Ganjing Ekonomi Global



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi dunia masih penuh ketidakpastian. Dalam kondisi seperti ini, peran bank sentral amat krusial untuk menentukan kebijakan moneter agar level ekonomi Indonesia setidaknya bisa tetap bertahan.

Bank Indonesia (BI) mengingatkan adanya peningkatan ketidakpastian yang membayangi prospek pertumbuhan ekonomi global tahun 2023. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, ketidakpastian datang dari prospek pertumbuhan ekonomi dan kebijakan moneter di negara maju.

"Ada kecenderungan risiko pertumbuhan ekonomi meningkat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi," tutur Perry.


Perry melihat, ada potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), dan negara berkembang, seperti China. Di AS, tekanan inflasi masih tinggi, terutama karena ketatnya pasar tenaga kerja. Meski, memang kondisi ekonomi mulai membaik dan tekanan stabilitas sistem keuangan pun mereda.

Baca Juga: Ekonom BSI Proyeksikan Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh Hingga 5,03% pada 2023

Sedangkan di Eropa, Perry juga melihat ketatnya kebijakan moneter akan menghambat potensi pertumbuhan kawasan tersebut. Lalu di China, pertumbuhan ekonomi diperkirakan tak sekuat itu. Terlihat dari inflasi yang rendah, sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter di China.

Perry pun mengingatkan, penguatan respons diperlukan untuk memitigasi risiko rambatan global terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara itu, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 akan mencapai 2,7% YoY.

Di tengah kondisi seperti ini, BI pun memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Juni 2023. 

"Keputusan mempertahankan ini konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran pada sisa tahun 2023 dan juga tahun 2024," katanya.

Perry memperkirakan inflasi IHK tetap bergerak di kisaran 3% plus minus 1% hingga akhir 2023. Kemudian turun ke kisaran 2,5% plus minus 1% pada tahun 2024. 

Ia menambahkan, fokus kebijakan BI saat ini diarahkan pada stabilitas nilai tukar rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor atau imported inflation. Selain itu, pengendalian rupiah juga untuk memitigasi dampak rambatan dari ketidakpastian pasar keuangan global. 

Perry Warjiyo mengungkapkan, meski BI belum menurunkan suku bunga acuan, BI tetap bisa memberikan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.  Salah satu instrumen yang digunakan oleh Perry dan kawan-kawan adalah dengan menjaga likuiditas yaitu dengan memperluas stimulus makroprudensial. 

Selama ini, BI telah memberikan stimulus likuiditas kepada perbankan yang menyalurkan kredit pada 46 sektor-sektor prioritas, kepada UMKM, dan bahkan untuk ekonomi hijau. 

Deputi Gubernur BI Juda Agung pun menambahkan, total insentif yang sudah diberikan oleh BI kurang lebih Rp 108 triliun dan diterima oleh 122 bank. Bahkan, Juda mengaku BI akan melakukan refocusing ke depan. Menurutnya, insentif ini akan diberikan pada bank-bank yang mendorong upaya industrialisasi. 

"Baik itu dari sisi pertambangan, hilirisasi, agro industri (industri pertanian), pengolahan, hasil perkebunan, dan lain-lain," terang Juda.

Baca Juga: Ekonomi Global Melambat, Ini Saran Ekonom kepada Pemerintah

Kondisi ekonomi global nampaknya harus dicermati betul oleh Bank Indonesia untuk menjaga laju ekonomi RI. Termasuk dari kebijakan bank sentral dari negara lain. Salah satunya bank sentral Amerika Serikat yang meski mulai menunjukkan tanda-tanda pengereman kebijakan agresif, namun diprediksi masih akan menaikkan suku bunga beberapa kali lagi pada tahun ini.

Perry melihat peluang kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) pada bulan Juli 2023. Ia Perry Warjiyo mengungkapkan, suku bunga acuan bank sentral AS pada bulan depan bisa berada di kisaran 5,5%. 

Ini seiring dengan kondisi inflasi Paman Sam yang masih tinggi. Memang, mulai ada penurunan inflasi, tetapi terjadi cukup lambat. 

"Baseline kami, Fed Fund Rate (FFR) akan naik menjadi 5,5%, setelah mencermati pernyataan Jerome Powell dan anggota The Fed yang lain," tutur Perry, Kamis (22/6) di Jakarta.

Selain itu, perkiraan ini juga dengan melihat kondisi inflasi AS yang masih tinggi. Memang mulai ada penurunan inflasi, tetapi terjadi lambat. Ini juga bak menyambut pernyataan pejabat The Fed pada pekan lalu. 

Bila memang benar terjadi peningkatan suku bunga kebijakan The Fed lagi pada bulan depan, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat peluang pelemahan nilai tukar rupiah. 

"Di jangka pendek, kenaikan ini akan mendorong penguatan dolar AS terhadap mata uang global, termasuk rupiah," tutur Josua.

Sebenarnya, Josua sudah melihat sentimen ini cukup mempengaruhi pergerakan rupiah dalam dua pekan terakhir. Bila menilik data BI, rerata nilai tukar rupiah dari awal Juni 2023 hingga 21 Juni 2023, melemah 0,56% bila dibandingkan dengan rerata kurs Mei 2023. 

Kabar baiknya, Josua yakin dampak kebijakan ini kepada rupiah hanya sebentar. Alias, ke depannya, dampak terhadap rupiah akan cenderung lebih terbatas. 

Dengan demikian, ia menyiratkan BI tak perlu merespons kebijakan The Fed tersebut dengan kebijakan suku bunga yang agresif. Karena justru, ini mengandung risiko. 

"Bila BI terlalu agresif dalam merespons The Fed melalui suku bunga, maka konsekuensinya adalah terjadi perlambatan ekonomi, seiring dengan potensi penurunan pertumbuhan kredit," jelasnya. 

Meski ada di tengah perlambatan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dipandang dengan nada optimistis oleh ekonom. Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 di kisaran 4,8% hingga 5,0%.

Untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, ia mengimbau supaya pemerintah mempercepat belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) supaya pertumbuhan lebih optimal. Di samping itu, likuiditas di perekonomian juga akan terjaga.

“Karena kalau APBN-nya tidak dibelanjakan (uang disimpan di Bank Indonesia), maka dampaknya ke ekonomi menjadi kurang optimal dan dana yang di BI itu tidak bisa diakses oleh sistem keuangan sehingga likuiditas bisa berkurang,” ujar dia.

Selain mempercepat belanja negara, keputusan pemerintah menambah libur bersama juga dianggap upaya tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi masyarakat.

Baca Juga: Ekonom: Tak Perlu Kebijakan Suku Bunga yang Agresif untuk Merespons Kebijakan The Fed

Sementara, Ekonom Insititute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyebut di tengah masalah global, Indonesia mau tidak mau harus mengandalkan potensi domestik.

“Sisi global sedang melemah, negara-negara maju sebagai mitra dagang ekonomi Indonesia melambat. Satu-satunya upaya mengandalkan potensi domestik,” kata Eko.

Adapun, potensi domestik tersebut meliputi sektor akomodasi serta makanan dan  minuman. Besarnya jumlah penduduk Indonesia menjadi alasan kenapa sektor ini potensial bagi Eko.

“Selain itu juga sektor perdagangan dalam negeri. Tentu saja kalau bisa mendorong sektor industri akan baik karena merupakan sektor dengan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto,” timpalnya.

Lebih lanjut, Eko menyebut Indonesia bisa mengandalkan sisi pengeluaran. Sebab, konsumsi rumah tangga bisa didorong seiring inflasi yang relatif terkendali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi