Menjaga likuiditas perbankan



Sepanjang 2018, likuiditas perbankan cenderung mengetat. Loan to deposit ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) meningkat dari 89,6% pada 2017 menjadi 93,4% pada September 2018.

Pengetatan itu dipicu peningkatan pertumbuhan kredit jauh di atas pertumbuhan DPK. Pertumbuhan kredit di periode yang sama naik dari 8,2% secara tahunan menjadi 12,7%, yang merupakan pertumbuhan tertinggi sejak September 2014. Sementara itu pertumbuhan DPK perbankan melambat dari 9,4% menjadi 6,9%.

Likuiditas perbankan sedikit melonggar pada November 2018, terlihat dari penurunan LDR menjadi 92,6%. Namun penurunan LDR lebih disebabkan melambatnya pertumbuhan kredit, bukan didorong peningkatan pertumbuhan DPK. Kredit pada November 2018 tumbuh melambat menjadi 12,1%, yang merupakan pertumbuhan kredit terendah sejak Juli 2018.


Pertumbuhan DPK secara bersamaan melambat menjadi 7,2% pada November 2018, dari 7,6% pada Oktober. Pertumbuhan DPK rupiah melambat menjadi 5,6% dari 6,4% pada bulan sebelumnya. Sementara itu pertumbuhan DPK valas naik signifikan menjadi 17% dari 14,6% pada bulan sebelumnya.

Namun kenaikan itu lebih disebabkan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Apabila disesuaikan dengan pelemahan rupiah, yakni secara tahunan pada November 2017 hingga November 2018, rupiah terdepresiasi 8%, DPK valas hanya tumbuh sekitar 7,8%. Alhasil, secara total (rupiah dan valas) DPK hanya tumbuh 6,1%, bukan 7,2%.

Ekses likuiditas di sistem perbankan, yang juga ditunjukkan oleh penempatan dana bank pada instrumen operasi pasar terbuka Bank Indonesia atau open market operation (OMO), hingga 11 Januari 2019 tercatat Rp 395,5 triliun. Nilai ini membaik dari posisi terendahnya pada Agustus tahun lalu senilai Rp 265 triliun.

Namun dari total ekses likuiditas itu, Rp 93 triliun merupakan injeksi likuiditas yang dilakukan BI ke sistem perbankan melalui instrumen FX swap dan term repo.

Jika tidak memasukkan injeksi likuiditas BI, ekses likuiditas pada Januari hanya Rp 191,7 triliun. Injeksi likuiditas dilakukan untuk mengatasi pengetatan likuiditas perbankan dalam jangka pendek.

Namun hal ini tidak berdampak kepada kondisi likuiditas bank jangka panjang. Likuiditas perbankan yang lebih stabil harus didapatkan melalui peningkatan DPK, khususnya di segmen ritel yang lebih stabil dalam jangka panjang.

Selain itu, permasalahannya adalah akses terhadap injeksi likuiditas BI tak tersebar merata antara bank besar maupun bank kecil. Bank kecil cenderung tidak memiliki surat berharga negara sebanyak kepemilikan bank besar.

Untuk memperoleh likuiditas melalui instrumen term repo BI, bank harus memiliki surat berharga yang mencukupi untuk dapat di-repo kan, atau dijual sementara untuk memperoleh dana, dengan janji akan dibeli kembali di periode yang telah disetujui.

Bank BUKU I, yaitu bank yang memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun, hanya memiliki total surat berharga sebanyak Rp 2 triliun. Bank BUKU II, yang memiliki modal inti antara Rp 1 triliun–Rp 5 triliun memiliki surat berharga sebanyak Rp 51 triliun.

Sementara itu bank BUKU III (modal inti antara Rp 5 triliun–Rp 30 triliun) dan bank BUKU IV (modal inti di atas Rp 30 triliun), masing-masing memiliki surat berharga Rp 219 triliun dan Rp 420 triliun, sehingga menguasai 86% total surat berharga milik perbankan.

Bank kecil harus memiliki akses yang lebih baik kepada instrumen BI untuk menjaga agar tak terjadi shock likuiditas dalam jangka pendek yang dapat berdampak kepada sistem perbankan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, bank kecil harus didorong untuk lebih banyak memiliki surat berharga.

Ketatnya likuiditas masih harus diwaspadai tahun ini. Likuiditas adalah faktor yang sangat penting dalam menjaga stabilitas industri perbankan. Apabila bank tak dapat mengimbangi pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan DPK yang memadai, maka bank mau tak mau harus menyesuaikan pertumbuhan kredit agar LDR terjaga pada level aman BI di bawah 92%.

Selain DPK, opsi lain yang merupakan alternatif sumber pendanaan adalah melalui penerbitan surat berharga, seperti obligasi korporasi, negotiable certificate of deficit (NCD), medium term notes (MTN). Pendanaan itu biasa disebut wholesale funding.

Dana dari wholesale funding juga digunakan untuk meningkatkan penyaluran kredit. Opsi ini juga harus dibuka secara merata, baik bank kecil maupun bank besar.

Namun biaya yang dilakukan untuk mendapatkan wholesale funding biasanya lebih tinggi dibandingkan pendanaan melalui DPK karena bunga yang diberikan lebih tinggi. Agar masih dapat menjaga profitabilitas, bank harus mengoptimalkan fungsi pengelolaan aset dan liabilitas, serta manajemen risiko yang baik.

Bank harus cermat dan memastikan dana dari wholesale funding dengan cost of fund yang tinggi disalurkan kepada kredit yang memiliki imbal hasil yang lebih tinggi agar margin bunga dan pertumbuhan laba bersih tetap terjaga. Bank juga harus selektif memberikan suku bunga kredit yang lebih tinggi kepada nasabah dan sektor ekonomi yang memiliki profil risiko yang baik untuk menghindari memburuknya kualitas kredit.•

Rully Arya Wisnubroto Senior Financial Market Analyst Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi