Menjaga warisan leluhur Osing di Kemiren



KONTAN.CO.ID - Matahari Banyuwangi mulai meninggi di Desa Kemiren pada ujung Maret lalu. Sayup-sayup, dari kejauhan, terdengar alunan musik dari salah sudut kampung wisata adat itu.

Usut punya usut, sumber suara itu berasal dari tabuhan sebuah lumpang. Ya, lumpang adalah alat untuk menumbuk beras.

Yang menarik, penabuhnya, lima perempuan berkebaya serba hitam, ternyata. Semuanya nenek-nenek. Mereka memukul lumpang dengan tongkat kayu penumbuk padi membentuk irama.


Permainan “alat musik” lumpang tersebut merupakan salah satu atraksi wisata yang bisa pelancong saksikan di Kemiren. Kampung ini juga populer dengan sebutan Desa Adat Osing.

Maklum, Kemiren merupakan rumah dari suku Osing, penduduk asli Banyuwangi. Osing dalam dialek lokal berarti tidak.

Nah, menurut Suhaimi, Kepala Adat Desa Kemiren, dalam kehidupan sehari-hari, sejatinya masyarakat masih memainkan “alat musik” lumpang. “Berirama saat ada warga yang punya hajatan sembari untuk menumbuk tepung,” katanya

Tentu, permainan alat musik lumpang hanya satu dari sekian banyak tradisi yang masih bertahan di Kemiren. Masih banyak adat istiadat suku Osing yang lestari.

Kemiren sendiri berasal dari kata kemiri. “Dulu, banyak pohon kemiri di desa ini,” jelas Suhaimi kepada sejumlah peserta Mandiri Banyuwangi Half Marathon 2019 yang mengunjungi Kemiren.

Jadi, kalau pelesiran ke Banyuwangi, wajib memasukkan Desa Kemiren dalam daftar tempat-tempat yang Anda sambangi. Jaraknya, hanya sekitar 15 menit berkendara dari pusat Kota Banyuwangi, lo.

Desa ini sangat khas. Ini tampak dari rumah adat suku Osing yang lestari.

Masyarakat Kemiren masih mempertahankan bentuk rumah sebagai bangunan yang memiliki nilai filosofi. Contoh, rumah tikel balung atau beratap empat yang melambangkan: penghuninya sudah mantap.

“Masyarakat Kemiren sangat menjaga warisan leluhur. Makanya, meski zaman sudah maju, adat istiadat di Kemiren masih lestari,” tegas Suhaimi.

Contoh lain, kalau menikah, anak lelaki mendapat rumah, sedang perempuan memperoleh kasur berkelir merah hitam. “Ini cuma ada di Kemiren. Warna merah hitam juga punya nilai filosofi, cikal bakal seorang ibu,” ujar Suhaimi.

Selain itu, Kemiren juga memiliki tradisi minum kopi bersama yang masih bertahan. Ada istilah, sak corot dadi seduluran. Yang artinya: sekali seduh kita bersaudara.

Dari tradisi ini, lahir lah Festival Ngopi Sepuluh Ewu. Pesta rakyat yang menyajikan 10.000 cangkir kopi ini berlangsung setiap Oktober.

Di jalan Desa Kemiren sepanjang 1,5 kilometer, masyarakat menyediakan kopi dan jajanan khas di pelataran rumah mereka. “Siapa yang datang bisa minum kopi sepuasnya,” imbuh Suhaimi.

Yang menarik, cangkir dalam Festival Ngopi Sepuluh Ewu memiliki bentuk dan motif seragam. Cangkir itu tentu milik masyarakat Kemiren. Minimal, satu keluarga punya dua set cangkir khas Osing itu.

Kopinya, tentu, asal Banyuwangi. Tepatnya, dari lereng Gunung Ijen yang juga jadi destinasi wisata andalan Banyuwangi, daerah berjulukan Sunrise of Java.

Wisatawan yang datang ke Kemiren juga bisa belajar proses pembuatan kopi secara tradisional. Mulai menyangrai, menumbuk, mengayak, hingga mengemas kopi.

Bukan cuma adat istiadat, Kemiren memiliki pemandangan alam yang memesona. Suasana desa masih asri, dengan persawahan berlatar belakang Gunung Ijen.

Suhaimi bilang, mayoritas penduduk Kemiren berprofesi sebagai petani. Dan, pakaian khas masyarakat Osing berwarna hitam. “Sebenarnya, supaya tidak kotor saat ke sawah, tapi hitam juga berarti langgeng,” kata dia.

Yuk, ke Desa Wisata Adat Kemiren.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan