Pertumbuhan orang kaya di Indonesia terus memperlebar peluang bagi usaha-usaha baru. Termasuk penyewaan ruang-ruang ritel. Kini, makin banyak pengusaha terjun di usaha penyewaan ruang ritel dalam lingkup yang lebih kecil. Usaha ini akan menjanjikan, jika memiliki konsep dan pasar yang jelas.Menjamurnya usaha ritel, termasuk food and beverage, mengundang banyak pengusaha untuk menciptakan konsep-konsep unik ruang ritel. Seperti pusat belanja atau mal, pengusaha ini pun menyewakan ruang-ruang ritel (rental space ritel) ke sejumlah pelaku usaha.Bedanya, ruang lingkup mereka lebih kecil. Jumlah ruang ritel yang disewakan sangat terbatas, mulai dari lima hingga puluhan ruang. Lokasi dan keunikan konsep yang disajikan menjadi nilai lebih dari ruang ritel yang disewakan. Salah satu pemain rental space ritel ini adalah The Foundry No. 8 yang beroperasi sejak 6 Februari 2013. Konsep yang cukup unik terlihat di tempat belanja yang terletak di kawasan SCBD, Jakarta. Bangunan yang dulunya kerap menjadi ruang pameran, didisain unik menjadi ruang-ruang ritel. Khrisna Sidharta, Marketing Executive The Foundry No. 8, mengatakan, pemilik memang membuat konsep sendiri untuk tempat belanja yang menyasar kalangan urban, khususnya kalangan muda dari kelas menengah atas di ibukota ini. “Kami ingin memberi alternatif pusat ritel dan pusat nongkrong di tengah maraknya mainstream mal di Jakarta,” jelas dia.Tak perlu berdandan rapi, Khrisna bilang, tempat belanja ini tak terlalu formil, karena konsepnya adalah tempat nongkrong yang santai. “The Foundry ini juga bisa dibilang sebagai mini mall,” ujar dia.Masuk ke area mal kecil itu, Anda akan disuguhi oleh pemandangan yang berbeda dengan pusat belanja lainnya. Pemilik memanfaatkan kontainer bekas yang direstorasi ulang menjadi gerai atau ruang ritel. Penataan kontainer sengaja dibuat tak beraturan, termasuk zoning, untuk menciptakan kesan nonformal.Ada beragam gerai yang hadir di sana. Gerai-gerai itu menawarkan berbagai produk, mulai dari produk fashion, kerajinan hingga food and beverage. Semua gerai tersebut terkonsentrasi di lantai satu.Sementara itu, di lantai dua, Anda akan mendapati area yang bisa dipakai sebagai tempat pertemuan. “Aula ini bisa dipakai untuk event dengan kapasitas 1.000 pax,” terang Khrisna.Ada 47 container store yang disediakan oleh pengelola. Kini, 42 di antaranya sudah terisi. Pengelola Foundry No. 8 membagi tarif sewa dalam tiga golongan. Pertama, prime zone bertarif Rp 1 juta per m2 tiap bulan. Kedua, non prime zone, memiliki dua tarif sewa, yakni Rp 900.000 dan Rp 800.000 per m2. Satu kontainer rata-rata memiliki luas 15 m2.Selain membayar uang sewa, penyewa gerai juga harus membayar service charge Rp 25.000 per m2 dan Rp 50.000 per m2 untuk gerai food and beverage. Konsep tak jauh berbeda, diusung pengelola Common House, yang terletak di kawasan Panglima Polim. Hanya, sesuai dengan ukuran bangunan seluas 300 m2, gerai yang ditawarkan Common House tidak sebanyak The Foundry No. 8.Menurut Anastasia Grace, Marketing Communication PT Atelier Kreasi Indonesia, pemilik Common House, tempat itu didirikan dengan konsep menjadi one stop shopping. “Owner kami terinspirasi dari beberapa tempat serupa di luar negeri,” jelas dia. Sama seperti The Foundry, tenant utama di ritel space ini berupa resto, yakni Mama Goose, yang kebetulan dimiliki owner Common House. Resto itu terletak di lantai dua. Sementara, di lantai satu terdapat beberapa gerai ritel. “Bisnis utama kami adalah restoran. Namun kami juga menginginkan ada trafik lain, hingga dibuatlah area ritel supaya pengunjung bisa sekalian belanja, memangkas rambut, dan lainnya,” terang Ade Sulistio Putra, seorang pemilik Common House.Hanya, tak semua gerai bisa disewa dalam jangka waktu yang lama. Ade bilang, di antara gerai-gerai itu ada yang disewakan hanya dua bulan. Setelah itu, harus berganti jenis usaha termasuk pemiliknya. “Biar selalu fresh,” cetus Ade.Biaya sewa di Common House berkisar Rp 56 juta per tahun, untuk ruang seluas 20 m2. Di luar biaya sewa, pemilik gerai juga harus membayar iuran maintenance dan internet sebesar Rp 500.000.Lantaran lokasinya yang cukup strategis, yakni dekat perkantoran dan perumahan, target trafik pengunjung dan penyewaan space ritel ini sesuai dengan harapan. Ade pun mematok target balik modal hingga 1,5 tahun atau lebih cepat. Peluang besarApakah Anda sudah melihat peluang untuk usaha di suatu tempat dan tertarik ingin mencoba usaha rental space ritel atau mal mini ini? Peluang usaha ini masih sangat besar, mengingat pertumbuhan orang berkantong tebal yang cukup tinggi di Indonesia. “Jumlah ekspatriat dan masyarakat kelas menengah ke atas yang sangat banyak menjadi faktor pemicu luasnya pasar mal mini di Jakarta,” kata Steve S.J. Sudijanto, Senior Associate Director Retail Service Colliers International Indonesia. Alhasil, usaha ini punya prospek yang bagus terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. “Karena kondisinya yang sering macet, maka mal mini yang dekat apartemen atau kondominium menjadi pilihan yang sesuai,” ujarnya. Pasalnya, berkunjung ke mal mini tak membutuhkan penampilan yang resmi seperti datang ke mal besar. Selain itu, mal mini bisa alternatif tempat nongkrong bagi mereka yang tinggal di hunian bertingkat untuk mengusir kebosanan. Ada pengunjung rutinUntuk membuka usaha sejenis mal mini, dengan luas lahan sekitar 5.000 hingga 10.000 m², pertama yang harus Anda pikirkan adalah konsep yang unik dan jelas. “Konsep lain daripada yang lain merupakan hal utama yang harus diperhatikan, mengingat mainstream mal di Jakarta atau Indonesia sudah banyak,” terang Khrisna.Maklum, mal mini seperti ini, membidik pasar yang mungil, namun kuat atau niche. Karena itu, selain harus memiliki konsep yang jelas, Anda juga harus melihat keberadaan pasar yang akan menjadi target pengunjung di sekitar lokasi mal mini. “Karena konsepnya mini mall, mungkin pasarnya tidak sebesar mainstream mal, tapi, ya pasti ada,” tambah Khrisha.Selanjutnya, Anda harus memilih tenant atau penyewa yang bisa membuat pengunjung betah atau rutin datang. Tenant yang tersedia, selain harus menjajakan sesuatu yang spesifik, juga harus memiliki produk yang bersifat kontinyu atau mampu mengundang pengunjung untuk datang secara rutin. Termasuk dalam kelompok itu adalah salon, barbershop, gym hingga bank. “Jadi tidak hanya memenuhi hasrat belanja saja, tetapi juga membuat pengunjung jadi memiliki kebutuhan rutin dengan mini mall tersebut,” ujar Steve.Ada baiknya, brand-brand yang disediakan bukan termasuk dalam mass brand atau mainstream brand. “Termasuk, untuk produk food and beverage, salon hingga toko buku yang ada di mini mall itu, sebaiknya memiliki penggemar sendiri,” kata Steve. Karena itu, Anda harus melakukan seleksi tenant dengan baik, agar ada keserasian antara konsep mal mini Anda dengan usaha milik penyewa atau tenant. “Yang pasti, kami melakukan penawaran bisnis dengan mereka, sesuai dengan peraturan sewa dan konsep,” kata Khrisna. Di The Foundry, para penyewa ini ada yang memang dicari sendiri dan ada pula yang memang datang untuk menyewa.Jelas, untuk mengundang pengunjung dan penyewa ruang, Anda harus memilih lokasi yang tepat dan strategis. Kemudahan akses dan tersedianya lahan parkir juga tidak boleh luput dipertimbangkan dalam menentukan lokasi. “Kami harus memikirkan potensi bisnis para tenant juga, karena tugas utama kami adalah menawarkan ruang ritel dan mengelolanya,” tutur Khrisna. Steve juga mengatakan, pemilihan tempat menjadi faktor penting untuk usaha dengan konsep mal mini. “Sebaiknya, mini mall berdiri di tengah kawasan terpadu yang sudah berusia tahunan,” jelasnya.Kawasan terpadu ini, maksudnya adalah kawasan terpadu bisnis, perkantoran, hotel, apartemen dan tempat tinggal. Selain itu, karena sifatnya niche, maka sebaiknya didirikan di daerah terpadu yang memiliki pangsa pasar A+ atau B++. “Ini karena daerah dengan penduduk yang masuk segmen itu, memiliki referensi merek atau selera spesifik,” tambah Steve. Terakhir, tentu Anda harus melakukan promosi untuk memperkenalkan keberadaan mal mini. Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep promosi mal atau pusat belanja yang lain. Di tahap awal, Anda harus bisa menarik minat masyarakat untuk datang terlebih dahulu ke mal mini. Jangan lupa, buatlah kunjungan pertama calon pelanggan ini begitu mengesankan, hingga ia mau kembali.Langkah itu bisa dilakukan dengan beragam cara. Salah satunya, bisa dengan mengundang artis yang populer dan sesuai dengan konsep yang diusung mal mini. “Itulah mengapa promosi pusat ritel adalah dengan kerap mengadakan event-event yang mengundang pengunjung,” kata Khrisna. Selanjutnya, baru melakukan promosi melalui media. ”Agar target pasar yang sesuai dengan bidikan Anda, dan terletak lebih jauh dari lokasi mal mini mengetahui keberadaan pusat belanja ini,” jelas Khrisna. Boleh juga, Anda menggandeng kerja sama dengan tenant di tempat Anda untuk menggelar program diskon di saat-saat tertentu. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menjaring fulus dari mal mini dengan pasar khusus
Pertumbuhan orang kaya di Indonesia terus memperlebar peluang bagi usaha-usaha baru. Termasuk penyewaan ruang-ruang ritel. Kini, makin banyak pengusaha terjun di usaha penyewaan ruang ritel dalam lingkup yang lebih kecil. Usaha ini akan menjanjikan, jika memiliki konsep dan pasar yang jelas.Menjamurnya usaha ritel, termasuk food and beverage, mengundang banyak pengusaha untuk menciptakan konsep-konsep unik ruang ritel. Seperti pusat belanja atau mal, pengusaha ini pun menyewakan ruang-ruang ritel (rental space ritel) ke sejumlah pelaku usaha.Bedanya, ruang lingkup mereka lebih kecil. Jumlah ruang ritel yang disewakan sangat terbatas, mulai dari lima hingga puluhan ruang. Lokasi dan keunikan konsep yang disajikan menjadi nilai lebih dari ruang ritel yang disewakan. Salah satu pemain rental space ritel ini adalah The Foundry No. 8 yang beroperasi sejak 6 Februari 2013. Konsep yang cukup unik terlihat di tempat belanja yang terletak di kawasan SCBD, Jakarta. Bangunan yang dulunya kerap menjadi ruang pameran, didisain unik menjadi ruang-ruang ritel. Khrisna Sidharta, Marketing Executive The Foundry No. 8, mengatakan, pemilik memang membuat konsep sendiri untuk tempat belanja yang menyasar kalangan urban, khususnya kalangan muda dari kelas menengah atas di ibukota ini. “Kami ingin memberi alternatif pusat ritel dan pusat nongkrong di tengah maraknya mainstream mal di Jakarta,” jelas dia.Tak perlu berdandan rapi, Khrisna bilang, tempat belanja ini tak terlalu formil, karena konsepnya adalah tempat nongkrong yang santai. “The Foundry ini juga bisa dibilang sebagai mini mall,” ujar dia.Masuk ke area mal kecil itu, Anda akan disuguhi oleh pemandangan yang berbeda dengan pusat belanja lainnya. Pemilik memanfaatkan kontainer bekas yang direstorasi ulang menjadi gerai atau ruang ritel. Penataan kontainer sengaja dibuat tak beraturan, termasuk zoning, untuk menciptakan kesan nonformal.Ada beragam gerai yang hadir di sana. Gerai-gerai itu menawarkan berbagai produk, mulai dari produk fashion, kerajinan hingga food and beverage. Semua gerai tersebut terkonsentrasi di lantai satu.Sementara itu, di lantai dua, Anda akan mendapati area yang bisa dipakai sebagai tempat pertemuan. “Aula ini bisa dipakai untuk event dengan kapasitas 1.000 pax,” terang Khrisna.Ada 47 container store yang disediakan oleh pengelola. Kini, 42 di antaranya sudah terisi. Pengelola Foundry No. 8 membagi tarif sewa dalam tiga golongan. Pertama, prime zone bertarif Rp 1 juta per m2 tiap bulan. Kedua, non prime zone, memiliki dua tarif sewa, yakni Rp 900.000 dan Rp 800.000 per m2. Satu kontainer rata-rata memiliki luas 15 m2.Selain membayar uang sewa, penyewa gerai juga harus membayar service charge Rp 25.000 per m2 dan Rp 50.000 per m2 untuk gerai food and beverage. Konsep tak jauh berbeda, diusung pengelola Common House, yang terletak di kawasan Panglima Polim. Hanya, sesuai dengan ukuran bangunan seluas 300 m2, gerai yang ditawarkan Common House tidak sebanyak The Foundry No. 8.Menurut Anastasia Grace, Marketing Communication PT Atelier Kreasi Indonesia, pemilik Common House, tempat itu didirikan dengan konsep menjadi one stop shopping. “Owner kami terinspirasi dari beberapa tempat serupa di luar negeri,” jelas dia. Sama seperti The Foundry, tenant utama di ritel space ini berupa resto, yakni Mama Goose, yang kebetulan dimiliki owner Common House. Resto itu terletak di lantai dua. Sementara, di lantai satu terdapat beberapa gerai ritel. “Bisnis utama kami adalah restoran. Namun kami juga menginginkan ada trafik lain, hingga dibuatlah area ritel supaya pengunjung bisa sekalian belanja, memangkas rambut, dan lainnya,” terang Ade Sulistio Putra, seorang pemilik Common House.Hanya, tak semua gerai bisa disewa dalam jangka waktu yang lama. Ade bilang, di antara gerai-gerai itu ada yang disewakan hanya dua bulan. Setelah itu, harus berganti jenis usaha termasuk pemiliknya. “Biar selalu fresh,” cetus Ade.Biaya sewa di Common House berkisar Rp 56 juta per tahun, untuk ruang seluas 20 m2. Di luar biaya sewa, pemilik gerai juga harus membayar iuran maintenance dan internet sebesar Rp 500.000.Lantaran lokasinya yang cukup strategis, yakni dekat perkantoran dan perumahan, target trafik pengunjung dan penyewaan space ritel ini sesuai dengan harapan. Ade pun mematok target balik modal hingga 1,5 tahun atau lebih cepat. Peluang besarApakah Anda sudah melihat peluang untuk usaha di suatu tempat dan tertarik ingin mencoba usaha rental space ritel atau mal mini ini? Peluang usaha ini masih sangat besar, mengingat pertumbuhan orang berkantong tebal yang cukup tinggi di Indonesia. “Jumlah ekspatriat dan masyarakat kelas menengah ke atas yang sangat banyak menjadi faktor pemicu luasnya pasar mal mini di Jakarta,” kata Steve S.J. Sudijanto, Senior Associate Director Retail Service Colliers International Indonesia. Alhasil, usaha ini punya prospek yang bagus terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta. “Karena kondisinya yang sering macet, maka mal mini yang dekat apartemen atau kondominium menjadi pilihan yang sesuai,” ujarnya. Pasalnya, berkunjung ke mal mini tak membutuhkan penampilan yang resmi seperti datang ke mal besar. Selain itu, mal mini bisa alternatif tempat nongkrong bagi mereka yang tinggal di hunian bertingkat untuk mengusir kebosanan. Ada pengunjung rutinUntuk membuka usaha sejenis mal mini, dengan luas lahan sekitar 5.000 hingga 10.000 m², pertama yang harus Anda pikirkan adalah konsep yang unik dan jelas. “Konsep lain daripada yang lain merupakan hal utama yang harus diperhatikan, mengingat mainstream mal di Jakarta atau Indonesia sudah banyak,” terang Khrisna.Maklum, mal mini seperti ini, membidik pasar yang mungil, namun kuat atau niche. Karena itu, selain harus memiliki konsep yang jelas, Anda juga harus melihat keberadaan pasar yang akan menjadi target pengunjung di sekitar lokasi mal mini. “Karena konsepnya mini mall, mungkin pasarnya tidak sebesar mainstream mal, tapi, ya pasti ada,” tambah Khrisha.Selanjutnya, Anda harus memilih tenant atau penyewa yang bisa membuat pengunjung betah atau rutin datang. Tenant yang tersedia, selain harus menjajakan sesuatu yang spesifik, juga harus memiliki produk yang bersifat kontinyu atau mampu mengundang pengunjung untuk datang secara rutin. Termasuk dalam kelompok itu adalah salon, barbershop, gym hingga bank. “Jadi tidak hanya memenuhi hasrat belanja saja, tetapi juga membuat pengunjung jadi memiliki kebutuhan rutin dengan mini mall tersebut,” ujar Steve.Ada baiknya, brand-brand yang disediakan bukan termasuk dalam mass brand atau mainstream brand. “Termasuk, untuk produk food and beverage, salon hingga toko buku yang ada di mini mall itu, sebaiknya memiliki penggemar sendiri,” kata Steve. Karena itu, Anda harus melakukan seleksi tenant dengan baik, agar ada keserasian antara konsep mal mini Anda dengan usaha milik penyewa atau tenant. “Yang pasti, kami melakukan penawaran bisnis dengan mereka, sesuai dengan peraturan sewa dan konsep,” kata Khrisna. Di The Foundry, para penyewa ini ada yang memang dicari sendiri dan ada pula yang memang datang untuk menyewa.Jelas, untuk mengundang pengunjung dan penyewa ruang, Anda harus memilih lokasi yang tepat dan strategis. Kemudahan akses dan tersedianya lahan parkir juga tidak boleh luput dipertimbangkan dalam menentukan lokasi. “Kami harus memikirkan potensi bisnis para tenant juga, karena tugas utama kami adalah menawarkan ruang ritel dan mengelolanya,” tutur Khrisna. Steve juga mengatakan, pemilihan tempat menjadi faktor penting untuk usaha dengan konsep mal mini. “Sebaiknya, mini mall berdiri di tengah kawasan terpadu yang sudah berusia tahunan,” jelasnya.Kawasan terpadu ini, maksudnya adalah kawasan terpadu bisnis, perkantoran, hotel, apartemen dan tempat tinggal. Selain itu, karena sifatnya niche, maka sebaiknya didirikan di daerah terpadu yang memiliki pangsa pasar A+ atau B++. “Ini karena daerah dengan penduduk yang masuk segmen itu, memiliki referensi merek atau selera spesifik,” tambah Steve. Terakhir, tentu Anda harus melakukan promosi untuk memperkenalkan keberadaan mal mini. Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep promosi mal atau pusat belanja yang lain. Di tahap awal, Anda harus bisa menarik minat masyarakat untuk datang terlebih dahulu ke mal mini. Jangan lupa, buatlah kunjungan pertama calon pelanggan ini begitu mengesankan, hingga ia mau kembali.Langkah itu bisa dilakukan dengan beragam cara. Salah satunya, bisa dengan mengundang artis yang populer dan sesuai dengan konsep yang diusung mal mini. “Itulah mengapa promosi pusat ritel adalah dengan kerap mengadakan event-event yang mengundang pengunjung,” kata Khrisna. Selanjutnya, baru melakukan promosi melalui media. ”Agar target pasar yang sesuai dengan bidikan Anda, dan terletak lebih jauh dari lokasi mal mini mengetahui keberadaan pusat belanja ini,” jelas Khrisna. Boleh juga, Anda menggandeng kerja sama dengan tenant di tempat Anda untuk menggelar program diskon di saat-saat tertentu. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News