Lewat konsep yang berbeda, L’Oreal dan Sunsilk menyusun program menarik menjaring lebih banyak konsumen. Mereka menggunakan ahli penata rambut sebagai ujung tombak penjualan produk. Konsumen terjaring dan produk pun laris manis.Demi menjaga penampilan agar tetap menarik, jarang-jarang orang mau dandan sendiri. Paling praktis dan enak, ya, mereka pergi nyalon alias merias diri di salon. Karena itu, bisnis salon kecantikan dengan mudah menjamur di segala musim, mulai pusat perbelanjaan di kota hingga menyempil di gang-gang sempit, ada saja salon yang bertengger. Sepintas tampak bahwa kaum hawa, para pria, dan anak-anak semakin terbiasa pergi ke salon. Jadi, bisa dibilang, salon menjadi ujung tombak penjualan produk-produk kecantikan. Salah satu perusahaan yang mengandalkan salon adalah L’Oreal. Namun, L’Oreal tak lantas tenteram melihat kondisi ini. Hasil riset yang dilakukan oleh produsen kosmetik, aksesori, sampai perlengkapan salon asal Prancis ini justru menunjukkan pengunjung salon terus me-nyusut sejak krisis tahun 2008. “Turun berkisar 20%,” ujar Reynaldo Wenas, Education Manager L’Oreal Professionnel.Selama ini ada tiga divisi yang menangani penjualan produk L’Oreal. Pertama, L’Oreal Luxury Product Division yang fokus berjualan produk di department store. Lalu, kedua, ada L’Oreal Consumer Product Division yang khusus menangani penjualan L’Oreal di supermarket. Satu divisi lagi, ketiga, L’Oreal Professionnel Product Division yang khusus menangani pasar korporat, yakni salon.Dari tiga divisi itu, penjualan secara ritel lewat department store dan supermarket memang dominan, mencapai 70% total penjualan. Adapun sisanya disumbangkan oleh penjualan lewat salon yang pasarnya sekarang sedang turun.Nah, demi mencegah penurunan penjualan via salon itulah, baru-baru ini L’Oreal meluncurkan program pemasaran baru, berjudul I Love My Hairdresser. Mereka berupaya agar konsumen mau kembali datang ke salon guna merawat rambut. Berkeliling dari mal ke mal yang tersebar di sebelas kota seperti Bali, Bandung, Jakarta, Jambi, Makassar, Manado, Palembang, Pekanbaru, dan Surabaya, Semarang, dan Medan, L’Oreal menggandeng 600 ahli penata rambut dalam program tersebut. “Ini merupakan program orisinal dari L’Oreal Indonesia dan baru pertama kali kami terapkan,” kata Ekza Novtianto, Marketing Colour Category L’Oreal Professionnel. Lewat program ini masyarakat bisa menyambangi booth L’Oreal Professionnel. Mereka boleh berkonsultasi tentang serba-serbi merawat, mengenali tingkat kerusakan rambut, hingga memilih produk yang cocok dengan jenis serta tingkat kerusakan rambut. Di setiap gerai duduk empat ahli penata rambut yang siap melayani konsumen tanpa pungutan biaya sepeser pun. “Konsumen tinggal datang dan berkonsultasi dengan para hairdresser itu,” ujar Ekza. Sebelumnya, rambut pengunjung akan didiagnosa untuk menentukan jenis dan kerusakan. Bahkan, para hairdresser akan mengusulkan pilihan gaya atau potongan rambut yang tepat bagi pelanggan yang datang. L’Oreal Professionnel juga berani mengklaim layanan gerai-gerainya mirip salon, namun minus layanan potong rambut. Sejatinya, tidak banyak biaya yang dikeluarkan L’oreal dalam menyelenggarakan program ini. Perusahaan yang sudah 100 tahun berbisnis di bidang kecantikan ini mengaku hanya menyediakan stan (booth), alat-alat, serta sejumlah produk sebagai materi kampanye.Saling membantuPara hairdresser yang diterjunkan L’Oreal adalah para sukarelawan yang tak dibayar. Mereka tak terikat kontrak dengan L’Oreal. “Mereka mau karena mereka juga punya kepentingan agar salonnya laris lagi, ” ujar Ekza beralasan. Para pemilik salon juga menganggap program ini kegiatan sosial mereka buat masyarakat.L’Oreal terkesan serius menyelamatkan pasar lewat jalur salon ini karena salon merupakan jaringan distribusi yang aktif bagi produk rambut sekaligus produk kosmetiknya. Selama ini ada dua model kerja sama antara L’Oreal dengan salon: kontrak penuh dan reguler. Pemilik salon yang memilih kontrak penuh harus menggunakan produk L’Oreal secara eksklusif. Salon tak boleh menjual atau memajang produk lain. Meski begitu, L’Oreal tak memaksa pemilik salon memasang nama L’Oreal di salonnya. Umumnya, sistem yang dipakai adalah bagi hasil, sesuai dengan target penjualan produk-produk L’Oreal. “Tergantung dari level salon, ada yang targetnya Rp 100 juta hingga Rp 300 juta per tahun,” ujar Ekza. Adapun kontrak reguler membolehkan salon membeli produk-produk L’Oreal sesuai dengan kebutuhan. Dengan begitu, salon juga boleh menjual produk dari perusahaan kosmetik lainnya. Kepada pemegang kontrak penuh maupun reguler, L’Oreal memberikan harga khusus untuk para distributornya ini. Meski begitu, tak sembarang salon bisa bekerja sama. L’Oreal melakukan seleksi ketat bagi mitra, terutama soal segmentasi dan target pasar. “Jangan sampai mereka tak bisa menjual produk sesuai dengan harga yang kami minta,” ungkap Ekza lagi.Kekuatan pihak ketigaMenurut pandangan Sumardy, Word of Mouth Marketing Consultant dari Oktovate Consulting, strategi pemasaran yang dilakukan L’Oreal merupakan langkah tepat memasarkan produk-produk kecantikan. “Sebab, umumnya, konsumen lebih percaya pihak ketiga ketimbang iklan,” ujar Sumardy. Persis seperti produk IT, produk kecantikan membutuhkan pendapat dari para ahli di bidangnya. L’Oreal melakukannya dengan mendatangkan para hairdresser. “Opini mereka bisa mempengaruhi konsumen dalam menentukan produk yang tepat,” ujar dia. Pendapat mereka juga akan berefek positif bagi kredibilitas dan brand produk-produk L’Oreal. “Kalau ahlinya yang merekomendasikan, masak konsumen tak percaya?” ujarnya. Cuma, program semacam ini baru mendatangkan efek terhadap penjualan dalam jangka panjang. Apalagi, apabila program ini tak didukung oleh delivery produk yang cepat dan tepat sasaran. Ketersediaan produk di pasar akan menambah efek penjualan yang signifikan kepada L’Oreal. Muthia Pratiwi, Brand Public Relations L’Oreal Professionnel Product Division, menambahkan bahwa ide pemasaran ini sejatinya berangkat dari riset yang dilakukan L’Oreal. Umumnya, konsumen datang ke salon memang bukan untuk memilih-milih produk, tapi melakukan perawat-an. Kebanyakan konsumen juga tidak mau ambil pusing terhadap produk-produk yang dijual salon. Sebaliknya, konsumen bersedia memakai merek produk kecantikan tertentu jika ada anjuran dari hairdresser yang menjadi langganan atau kepercayaannya.Karena itu, L’Oreal berencana menggelar program serupa ini saban tahun. Apalagi, dari hasil uji coba akhir tahun lalu di di wilayah DKI Jakarta, hasilnya tampak menggembirakan. Setiap hari, rata-rata 10 pengunjung yang datang berkonsultasi ke booth unik ini. L’Oreal optimistis, program yang hendak mereka gelar sampai Maret 2011 ini bakal mengundang banyak pengunjung. “Target kami, sebanyak 500.000 konsumen akan datang,” ujar imbuh. Bila program ini sukses, target pertumbuhan penjualan hingga 15% di divisi L’Oreal Professionnel akan tercapai. ”Sekarang L’Oreal sudah menjadi top of mind konsumen, lo,” imbuh Muthia dengan bangga. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menjaring konsumen, biar sang ahli yang merayu
Lewat konsep yang berbeda, L’Oreal dan Sunsilk menyusun program menarik menjaring lebih banyak konsumen. Mereka menggunakan ahli penata rambut sebagai ujung tombak penjualan produk. Konsumen terjaring dan produk pun laris manis.Demi menjaga penampilan agar tetap menarik, jarang-jarang orang mau dandan sendiri. Paling praktis dan enak, ya, mereka pergi nyalon alias merias diri di salon. Karena itu, bisnis salon kecantikan dengan mudah menjamur di segala musim, mulai pusat perbelanjaan di kota hingga menyempil di gang-gang sempit, ada saja salon yang bertengger. Sepintas tampak bahwa kaum hawa, para pria, dan anak-anak semakin terbiasa pergi ke salon. Jadi, bisa dibilang, salon menjadi ujung tombak penjualan produk-produk kecantikan. Salah satu perusahaan yang mengandalkan salon adalah L’Oreal. Namun, L’Oreal tak lantas tenteram melihat kondisi ini. Hasil riset yang dilakukan oleh produsen kosmetik, aksesori, sampai perlengkapan salon asal Prancis ini justru menunjukkan pengunjung salon terus me-nyusut sejak krisis tahun 2008. “Turun berkisar 20%,” ujar Reynaldo Wenas, Education Manager L’Oreal Professionnel.Selama ini ada tiga divisi yang menangani penjualan produk L’Oreal. Pertama, L’Oreal Luxury Product Division yang fokus berjualan produk di department store. Lalu, kedua, ada L’Oreal Consumer Product Division yang khusus menangani penjualan L’Oreal di supermarket. Satu divisi lagi, ketiga, L’Oreal Professionnel Product Division yang khusus menangani pasar korporat, yakni salon.Dari tiga divisi itu, penjualan secara ritel lewat department store dan supermarket memang dominan, mencapai 70% total penjualan. Adapun sisanya disumbangkan oleh penjualan lewat salon yang pasarnya sekarang sedang turun.Nah, demi mencegah penurunan penjualan via salon itulah, baru-baru ini L’Oreal meluncurkan program pemasaran baru, berjudul I Love My Hairdresser. Mereka berupaya agar konsumen mau kembali datang ke salon guna merawat rambut. Berkeliling dari mal ke mal yang tersebar di sebelas kota seperti Bali, Bandung, Jakarta, Jambi, Makassar, Manado, Palembang, Pekanbaru, dan Surabaya, Semarang, dan Medan, L’Oreal menggandeng 600 ahli penata rambut dalam program tersebut. “Ini merupakan program orisinal dari L’Oreal Indonesia dan baru pertama kali kami terapkan,” kata Ekza Novtianto, Marketing Colour Category L’Oreal Professionnel. Lewat program ini masyarakat bisa menyambangi booth L’Oreal Professionnel. Mereka boleh berkonsultasi tentang serba-serbi merawat, mengenali tingkat kerusakan rambut, hingga memilih produk yang cocok dengan jenis serta tingkat kerusakan rambut. Di setiap gerai duduk empat ahli penata rambut yang siap melayani konsumen tanpa pungutan biaya sepeser pun. “Konsumen tinggal datang dan berkonsultasi dengan para hairdresser itu,” ujar Ekza. Sebelumnya, rambut pengunjung akan didiagnosa untuk menentukan jenis dan kerusakan. Bahkan, para hairdresser akan mengusulkan pilihan gaya atau potongan rambut yang tepat bagi pelanggan yang datang. L’Oreal Professionnel juga berani mengklaim layanan gerai-gerainya mirip salon, namun minus layanan potong rambut. Sejatinya, tidak banyak biaya yang dikeluarkan L’oreal dalam menyelenggarakan program ini. Perusahaan yang sudah 100 tahun berbisnis di bidang kecantikan ini mengaku hanya menyediakan stan (booth), alat-alat, serta sejumlah produk sebagai materi kampanye.Saling membantuPara hairdresser yang diterjunkan L’Oreal adalah para sukarelawan yang tak dibayar. Mereka tak terikat kontrak dengan L’Oreal. “Mereka mau karena mereka juga punya kepentingan agar salonnya laris lagi, ” ujar Ekza beralasan. Para pemilik salon juga menganggap program ini kegiatan sosial mereka buat masyarakat.L’Oreal terkesan serius menyelamatkan pasar lewat jalur salon ini karena salon merupakan jaringan distribusi yang aktif bagi produk rambut sekaligus produk kosmetiknya. Selama ini ada dua model kerja sama antara L’Oreal dengan salon: kontrak penuh dan reguler. Pemilik salon yang memilih kontrak penuh harus menggunakan produk L’Oreal secara eksklusif. Salon tak boleh menjual atau memajang produk lain. Meski begitu, L’Oreal tak memaksa pemilik salon memasang nama L’Oreal di salonnya. Umumnya, sistem yang dipakai adalah bagi hasil, sesuai dengan target penjualan produk-produk L’Oreal. “Tergantung dari level salon, ada yang targetnya Rp 100 juta hingga Rp 300 juta per tahun,” ujar Ekza. Adapun kontrak reguler membolehkan salon membeli produk-produk L’Oreal sesuai dengan kebutuhan. Dengan begitu, salon juga boleh menjual produk dari perusahaan kosmetik lainnya. Kepada pemegang kontrak penuh maupun reguler, L’Oreal memberikan harga khusus untuk para distributornya ini. Meski begitu, tak sembarang salon bisa bekerja sama. L’Oreal melakukan seleksi ketat bagi mitra, terutama soal segmentasi dan target pasar. “Jangan sampai mereka tak bisa menjual produk sesuai dengan harga yang kami minta,” ungkap Ekza lagi.Kekuatan pihak ketigaMenurut pandangan Sumardy, Word of Mouth Marketing Consultant dari Oktovate Consulting, strategi pemasaran yang dilakukan L’Oreal merupakan langkah tepat memasarkan produk-produk kecantikan. “Sebab, umumnya, konsumen lebih percaya pihak ketiga ketimbang iklan,” ujar Sumardy. Persis seperti produk IT, produk kecantikan membutuhkan pendapat dari para ahli di bidangnya. L’Oreal melakukannya dengan mendatangkan para hairdresser. “Opini mereka bisa mempengaruhi konsumen dalam menentukan produk yang tepat,” ujar dia. Pendapat mereka juga akan berefek positif bagi kredibilitas dan brand produk-produk L’Oreal. “Kalau ahlinya yang merekomendasikan, masak konsumen tak percaya?” ujarnya. Cuma, program semacam ini baru mendatangkan efek terhadap penjualan dalam jangka panjang. Apalagi, apabila program ini tak didukung oleh delivery produk yang cepat dan tepat sasaran. Ketersediaan produk di pasar akan menambah efek penjualan yang signifikan kepada L’Oreal. Muthia Pratiwi, Brand Public Relations L’Oreal Professionnel Product Division, menambahkan bahwa ide pemasaran ini sejatinya berangkat dari riset yang dilakukan L’Oreal. Umumnya, konsumen datang ke salon memang bukan untuk memilih-milih produk, tapi melakukan perawat-an. Kebanyakan konsumen juga tidak mau ambil pusing terhadap produk-produk yang dijual salon. Sebaliknya, konsumen bersedia memakai merek produk kecantikan tertentu jika ada anjuran dari hairdresser yang menjadi langganan atau kepercayaannya.Karena itu, L’Oreal berencana menggelar program serupa ini saban tahun. Apalagi, dari hasil uji coba akhir tahun lalu di di wilayah DKI Jakarta, hasilnya tampak menggembirakan. Setiap hari, rata-rata 10 pengunjung yang datang berkonsultasi ke booth unik ini. L’Oreal optimistis, program yang hendak mereka gelar sampai Maret 2011 ini bakal mengundang banyak pengunjung. “Target kami, sebanyak 500.000 konsumen akan datang,” ujar imbuh. Bila program ini sukses, target pertumbuhan penjualan hingga 15% di divisi L’Oreal Professionnel akan tercapai. ”Sekarang L’Oreal sudah menjadi top of mind konsumen, lo,” imbuh Muthia dengan bangga. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News