Menjelang Pilpres 2019



Banyak faktor yang bisa menggerakkan harga. Mulai faktor fundamental, kinerja emiten, berita, analisis teknikal, rekomendasi, dan banyak lagi. Kalau kita mencari ke ranah yang lebih teoretis, faktor perbedaan hari pun bisa membuat pergerakan harga berbeda.

Pemilihan Presiden (Pilpres) pun tentu bisa mempengaruhi pergerakan harga. Dalam Pilpres 2014 yang lalu misalnya, kita mengenal adanya Jokowi Effect. Ini adalah kenaikan harga cukup tinggi yang terjadi ketika pasar melihat peluang Jokowi memenangkan Pilpres 2014, terlihat mengalami peningkatan. Dalam bahasa sederhana, kalau elektabilitas Jokowi naik, harga saham (baca: IHSG) akan naik. Sebaliknya, kalau elektabilitas Jokowi turun, harga akan bergerak turun.

Ini masih ditambah dengan berita-berita yang membuat pasar jadi lebih bersemangat mendukung pasangan Jokowi-JK. Misal, dana asing akan masuk sangat deras, kurs rupiah terhadap dollar AS turun ke bawah Rp 10.000, janji bila Jokowi-JK terpilih tidak akan ada utang asing, pertumbuhan ekonomi bakal di atas 7% dan lainnya.


Terlepas dari apakah janji kampanye tersebut terlaksana atau tidak, harga saham malah bergerak turun setelah Jokowi menjabat. Di 2015 saja, IHSG yang di akhir 2014 ditutup di level 5.166,98 sempat hampir mencapai level psikologis 4.000 (level terendah IHSG di 2015 4.033), sebelum kembali naik.

Banyak kebijakan pro-rakyat yang kemudian malah disikapi negatif oleh pasar modal karena menggerus potensi profit dari perusahaan yang ada di pasar modal. Contoh, penurunan harga semen yang muncul di awal 2015, pengaturan net interest margin (NIM), aturan domestic market obligation (DMO) batubara dan masih banyak lagi.

Belum lagi masalah kepercayaan pasar modal (terutama investor asing) kepada saham-saham sektor konstruksi, yang merupakan prestasi cemar, eh, tenar dari Pemerintahan Jokowi. Kinerja saham konstruksi (penjualan dan laba bersih) sebenarnya terus meningkat. Tapi, pasar modal, terutama investor asing, cenderung melepas posisi di saham-saham sektor ini, karena rasio utang yang terus memburuk.

Intinya, Jokowi memang memberikan lebih kepada rakyat, tapi pasar terpaksa menelan pil pahit berupa penurunan harga saham. Kepercayaan masyarakat, terutama investor asing, terhadap perusahaan BUMN konstruksi menjadi lebih rendah. Padahal hampir semua proyek infrastruktur sudah digelontorkan ke tangan mereka.

Toh, rally yang berlangsung pada 20162017 menunjukkan pasar modal tetap setia pada Jokowi. Meski dana asing ternyata malah mengalami eksodus besar-besaran dan keluar dari dari pasar modal Indonesia di 2018, pasar modal tetap setia.

Kesetiaan ini terlihat pada hari-hari belakangan ini. Pasar modal (baca: IHSG) tetap dalam mode Jokowi Effect seperti yang terjadi pada Pilpress 2014. Jika elektabilitas Jokowi-Maruf meningkat IHSG bergerak naik, demikian juga terjadi sebaliknya.

Cuma, Jokowi Effect yang terjadi belakangan kurang jelas, apakah kenaikan yang terjadi itu memang asli atau karena pencitraan. Yang saya maksud Jokowi Effect pencitraan adalah kenaikan harga yang dipaksakan (dengan mengerek IHSG lewat saham big caps free float kecil seperti GGRM dan UNVR).

Kondisi ini terasa ketika harga saham GGRM sempat mencapai Rp 100.000 di awal Maret ini. IHSG yang mulai memasuki fase konsolidasi, seakan dipaksa naik dengan mengerek harga GGRM. Apakah ke depan kondisi ini akan berulang ketika kondisi regional memburuk?

Kita sekarang memasuki masa kampanye. Market terlanjur percaya adanya Jokowi Effect (Jokowi menang market naik, Jokowi kalah market turun). Masalahnya: regional sudah dua-tiga minggu terakhir terlihat kendur, mulai menampakkan tren turun. Belum ada sinyal negatif jangka menengah, sih, tapi tren turun jangka pendek mulai terbentuk.

Indeks utama dunia, seperti Dow Jones Industrial (DJI) dan Hang Seng sudah mulai jenuh beli (overbought). Orang terlihat mulai pesimistis. Tapi, IHSG masih terlihat kuat. Harga saham juga terlihat masih cukup kuat. Hanya GGRM yang minggu lalu turun cukup dalam.

Saya paling enggak suka melihat investor murung. Apalagi kalau investor murung gara-gara kalah sama penggoreng saham. Investor murung ini sering terlihat ketika market mulai bearish.

Sekitar 1-2 minggu terakhir, saya punya sedikit obat untuk menyenangkan hati para investor nyangkuters. Saya suka pasang status yang provokatif di Facebook, setiap kali harga terlihat turun agak terlalu dalam.

Saya pasang status seperti "Lo, ini market turun, Jokowi mau kalah, ya?" Eh, besoknya, setidaknya, dua kali saya pasang status seperti itu, IHSG rebound, harga saham-saham rebound. Kebetulan? Atau memang pasar saat ini merupakan market pencitraan?

Saya rasa, mau pencitraan atau tidak, ya begitulah market kita. Setidaknya saya bisa membuat orang bahagia di tengah kalutnya perpecahan yang ada dalam keramaian Pilpres 2019.

Terakhir, kalau orang bertanya, kalau melihat kondisi market, kira-kira siapa Presiden Terpilih di 2019 ini? Kita lihat saja hasilnya nanti. Yang jelas, Jokowi Effect (kondisi market yang naik atau turun dengan mempertimbangkan kondisi elektabilitas Jokowi) memang masih berjalan.

Di satu sisi, bursa regional sepertinya bakal memburuk, mungkin akan sangat volatil. Tapi, market kita sepertinya masih akan terjaga di kisaran 6.4006.650 setidaknya hingga 17 April nanti.

Setelah itu? Siapa pun pemenangnya, sepertinya sell on strength tetap jadi pilihan terbaik. Setiap tahun, di April-Mei , terutama minggu-minggu menjelang Ramadan, memang biasanya market konsolidasi. Siapapun pemenangnya, sepertinya sulit muncul rally panjang.

Happy trading, semoga hasilnya barokah!♦

Satrio Utomo Pengamat Pasar Modal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi