Menkeu : Defisit Neraca Perdagangan itu Lumrah



JAKARTA. Meski neraca dagang mengalami defisit, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap optimis. Menurutnya tingginya impor justru menjadi tanda ekonomi mengalami pertumbuhan. "Trend pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa kalau pertumbuhan kita masih cukup kuat. Itu terlihat dalam impor barang modal, bahan baku, dan kadang-kadang juga barang produksi," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (2/9).

Ia mengakui, dalam setengah tahun terakhir, impor memang meningkat tajam dan cenderung lebih tinggi dari ekspor.  Akan tetapi, kondisi itu tak bisa dilepaskan dari faktor melemahnya perekonomian dunia.  Akibat pelemahan itu permintaan turun. Dan ekspor Indonesia, baik dari sisi harga maupun dalam volume, ikut terus menyusut.

"Neraca pembayaran kita dari outlook Bank Indonesia akan menunjukkan surplus, namun dalam hal ini harus dikelola secara hati-hati. Artinya potensi ekspor harus terus digenjot," ujarnya. Pemerintah tidak bisa mencegah impor yang tujuannya untuk kegiatan produksi. Malah impor barang produksi berkorelasi positif terhadap kinerja makro ekonomi.


Sedangkan upaya menekan laju impor barang konsumsi, barbagai langkah sudah ditempuh pemerintah dengan tidak melanggar rambu-rambu yang sudah disepakati dalam AFTA. Misalnya, pemerintah tidak bisa setiap waktu melakukan perubahan dari sisi tarif atau kebijakan non tarif, seperti memberikan kuota. "Kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan itupun akan kita konsultasikan dengan Mendag mengenai bagaimana compliance dengan kondisi internasional," katanya.

Menkeu juga menambahkan, untuk menjaga neraca pembayaran, kompensasinya adalah menjaga neraca transaksi modal. Untuk itu pemerintah harus menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif. Sehingga arus modal yang masuk, baik dalam bentuk portofolio maupun investasi asing langsung alias Foreign Direct Invesment (FDI), bisa berjalan. "Itu kelihatan sudah mulai tinggi. Kalau kita lihat pertumbuhan arus investasi asing, secara keseluruhan sebetulnya aman. Tapi komposisinya mungkin akan berubah karena konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yaitu di atas 6%," katanya.

Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Prijambodo mengatakan pertumbuhan impor yang tinggi merupakan dampak dari tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi maka sektor produksi dan konsumsi akan meningkat. Adapun ekspor, akan sangat tergantung pada perkembangan kondisi perekonomian global.

"Itu merupakan pola yang umum terjadi. Jika impor digunakan untuk membiayai ekonomi seperti penyediaan bahan baku dan modal, artinya masih cukup baik. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mendorong industri nasional mampu menutup kebutuhan impor," terang Bambang.

Nilai ekspor memiliki ambang batas tersendiri, sedangkan impor tidak memiliki batas. Malah meningkat seiring tumbuhnya perekonomian nasional. Yang penting, menurut Bambang, neraca modal yang masuk merupakan modal jangka panjang bukan cuma portofolio dengan jangka waktu pendek, sehingga dampak ke sektor riil bisa lebih terasa.

Kendati begitu, Bambang meminta agar pemerintah tetap terus mempertahankan kinerja ekspornya, terutama dengan memperluas pasar dan meningkatkan volume. "Cina dengan pertumbuhan ekonomi tinggi masih bisa mempertahankan neraca perdagangan yang surplus. Kita kan bisa seperti itu," katanya.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test