JAKARTA. Saat ini neraca perdagangan Indonesia telah surplus selama 3 bulan sejak Oktober 2013. Akan tetapi, nilai tukar rupiah cenderung masih terdepresiasi. Menteri Keuangan (Menkeu) M Chatib Basri mengatakan pergerakan nilai tukar lebih didorong kondisi eksternal. "Fenomena pergerakan nilai tukar didorong lebih oleh faktor eksternalnya. Bedakan antara mana domestik mana yang luar. Selama ini kan kita gabung jadi satu, karena mungkin penyebabnya current account deficit (defisit transaksi berjalan)," kata Chatib di kantornya, Rabu (5/2/2014). Lebih lanjut, Chatib mengungkapkan kondisi pelemahan nilai tukar rupiah dan negara-negara berkembang (emerging markets) lainnya pun ikut dipengaruhi kebijakan bank sentral AS (The Fed). Ini terlihat dari melemahnya nilai tukar hampir seluruh mata uang negara berkembang. "Minggu lalu hampir seluruh emerging markets mata uangnya kena. India itu naiknya tajam sekali dari 6,1 ke 6,3 persen. Lihat Lira Turki itu naik dr 9 ke 11 persen, Brazil Real itu dari 2,4 ke 2,7 persen. Lalu lihat lagi Argentina Peso itu 30 persen dropnya," papar dia. Rupiah pun ikut terkena imbas, sehingga kondisi saat ini adalah depresiasi nilai tukar rupiah. Namun demikian, Chatib memandang kondisi rupiah lebih baik bila dibandingkan dengan mata uang negara-negara berkembang lain yang telah disebutnya. "Lihat rupiah itu Rp 12.000 ke Rp 12.100. Berarti rupiah relatif lebih stabil. Ini karena faktor domestiknya cukup membendung tekanan yang lebih jauh. Mungkin kalau tidak trjadi, kalau tidak ada info yang baik pada saat domestid, bisa terjadi pressure lebih tinggi," jelas Chatib. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menkeu klaim nilai tukar rupiah lebih stabil
JAKARTA. Saat ini neraca perdagangan Indonesia telah surplus selama 3 bulan sejak Oktober 2013. Akan tetapi, nilai tukar rupiah cenderung masih terdepresiasi. Menteri Keuangan (Menkeu) M Chatib Basri mengatakan pergerakan nilai tukar lebih didorong kondisi eksternal. "Fenomena pergerakan nilai tukar didorong lebih oleh faktor eksternalnya. Bedakan antara mana domestik mana yang luar. Selama ini kan kita gabung jadi satu, karena mungkin penyebabnya current account deficit (defisit transaksi berjalan)," kata Chatib di kantornya, Rabu (5/2/2014). Lebih lanjut, Chatib mengungkapkan kondisi pelemahan nilai tukar rupiah dan negara-negara berkembang (emerging markets) lainnya pun ikut dipengaruhi kebijakan bank sentral AS (The Fed). Ini terlihat dari melemahnya nilai tukar hampir seluruh mata uang negara berkembang. "Minggu lalu hampir seluruh emerging markets mata uangnya kena. India itu naiknya tajam sekali dari 6,1 ke 6,3 persen. Lihat Lira Turki itu naik dr 9 ke 11 persen, Brazil Real itu dari 2,4 ke 2,7 persen. Lalu lihat lagi Argentina Peso itu 30 persen dropnya," papar dia. Rupiah pun ikut terkena imbas, sehingga kondisi saat ini adalah depresiasi nilai tukar rupiah. Namun demikian, Chatib memandang kondisi rupiah lebih baik bila dibandingkan dengan mata uang negara-negara berkembang lain yang telah disebutnya. "Lihat rupiah itu Rp 12.000 ke Rp 12.100. Berarti rupiah relatif lebih stabil. Ini karena faktor domestiknya cukup membendung tekanan yang lebih jauh. Mungkin kalau tidak trjadi, kalau tidak ada info yang baik pada saat domestid, bisa terjadi pressure lebih tinggi," jelas Chatib. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News