Menkeu: Penyaluran beras raskin rawan penggelapan



JAKARTA. Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro mengakui sistem penyaluran beras raskin rawan dengan penggelapan. Pasalnya, kata dia, selama ini sistem penyaluran raskin terlalu banyak melibatkan banyak orang atau padat karya.

"Percaya sama saya, kalau yang padat karya seperti itu pasti ujungnya padat penggelapan," ujar Bambang saat memberikan sambutan dalam acara pembentukan Forum Sistem Pembayaran Indonesia (FSPI) di Jakarta, Kamis (27/8).

Dia menjelaskan, dalam program raskin disebutkan bahwa setiap rumah tangga sasaran mendapatkan 15 kg raskin per bulan. Angka tersebut kata Bambang hanya menjadi sekedar angka untuk menghitung jumlah raskin yang akan diberikan kepada rumah tangga sasaran diseluruh Indonesia dengan hitungan: 15 (kg) x jumlah rumah tangga sasaran x 12 (bulan).


Sayangnya, setelah mendapatkan total angka beras raskin, penyaluran beras tersebut tidak dilakukan dalam satu paket per 15 kg kepada pemerintah daerah melainkan dalam bentuk beras karungan.

Akibatnya, lanjut Bambang, untuk menyalurkan 15 kg kepada rumah tangga sasaran diperlukan banyak tangan untuk membagi porsi beras 1 karung manjadi paket 15 kg.  Di sinilah penggelapan terjadi menurut Menkeu.

"Nah akhirnya pejabat lurah atau camat diminta bagi-bagi (beras 1 karung itu) jadi paket 15 kg. Membagi 1 karung jadi paket 15 kg ini saja sudah menyiksa. Kedua paket itu harus diberikan ke keluarga tertentu. Lalu terjadilah situasi dimana yang dapat itu bukan yang membutuhkan. Kalau pun keluarga sasaran dapat, itu jadi tidak 15 kg karena yang bagi orang-orang ini," kata Bambang.

Oleh karena itu, dia mendorong adanya satu sistem pembayaran berupa satu kartu pintar yang bisa digunakan keluarga sasaran raskin membeli beras 15 kg per bulan di vendor-vendor beras yang ditugasi oleh pemerintah di berbagai pelosok negeri. Dengan begitu Bambang yakin penyaluran raskin akan lebih tetap sasaran.

Selain bisa digunakan membeli raskin, kartu pintar itu juga diharapkan bisa digunakan untuk keperluan lainya misalnya pembelian BBM bersubsidi dan pembelian pupuk subsidi yang penyalurannya juga banyak yang tidak tepat sasaran. Intinya kata dia, subsidi yang diberikan pemerintah tidak diberikan berupa subsidi barang sehingga harganya murah, melainkan subsidi langsung ke orang yang berhak menerima bantuan pemerintah tersebut. (Yoga Sukmana)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie