KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono beberapa waktu lalu yang meminta pemilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak usah membayar pajak mendapat tanggapan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani mengaku tak khawatir dengan seruan ajakan "boikot pajak" yang tengah mencuat di tengah masyarakat tersebut. "Masalah perpajakan kan sudah diatur oleh undang-undang. Kalau kita mau menjaga negara ini bersama, ya, kita harus menjalankan kewajiban," kata Sri Mulyani, Kamis (16/5) lalu. Masyarakat, lanjut dia, memang memiliki hak. Namun di sisi lain, masyarakat sebagai warga negara juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yaitu salah satunya membayar pajak.
Sri Mulyani juga menjelaskan, uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat sangat penting untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Di antaranya, penyelenggaraan negara dari sisi perkeonomian maupun dari sisi penyediaan jasa untuk masyarakat, misalnya pembangunan jalan raya, sekolah, rumah sakit, penyediaan air, hingga listrik. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga mengingatkan, uang pajak yang dibayarkan salah satunya dipakai untuk kepentingan aparatur negara, tak terkecuali DPR dan partai politik. "Seluruh aparat, termasuk DPR, partai politik pun juga mendapat (dana dari) APBN, Jangan lupa. Karena mereka mendapatkan per kepala. Jadi kalau enggak mau membayar pajak, masak mau negaranya enggak jalan?" tuturnya. Ia pun tetap tenang dan meyakini masyarakat tak akan mudah terpengaruh ajakan memboikot pajak ini. Ia juga meyakini banyak politisi yang menolak ajakan ini. "Saya lihat di antara teman-teman politisi sendiri juga sudah pada berkomentar. Jadi saya tetap berharap masih banyak yang memiliki cara pendekatan ke negarawanan yang baik," ujar dia. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, sebelumnya, juga menganggap seruan boikot membayar pajak ini sebagai tindakan yang konyol, tapi juga sekaligus berbahaya. Menurutnya, ajakan untuk tidak membayar pajak padahal masyarakat sebagai warga negara wajib membayarnya adalah pelanggaran Undang-undang Perpajakan. "Perlu diingat bahwa pelanggaran ini melekat secara individual bagi tiap wajib pajak," ujar Yustinus dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id beberapa waktu lalu. Ia menilai, boikot pajak tidak saja buruk secara moral tetapi juga merugikan kepentingan nasional, terutama merugikan sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini menikmati layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, dan lainnya. Belum lagi belanja infrastruktur, pertahanan, keamanan, birokrasi, dll. Dengan kata lain, ajakan memboikot pajak adalah ajakan memperburuk keadaan yang merugikan rakyat Indonesia. Apalagi, saat ini kondisi kepatuhan pajak di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Masih terdapat banyak orang yang seharusnya membayar pajak, namun tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Tingkat penghindaran pajak pun masih tinggi.
"Dalam situasi seperti ini, ajakan memboikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku mengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang pajak yang selama ini memang enggan membayar pajak," tuturnya. Yustinus memandang, ajakan yang tidak bertanggung jawab tersebut sudah semestinya tak ditanggapi. Selain tidak mendidik dan tak memiliki legitimasi moral, juga destruktif terhadap upaya pencapaian tujuan bernegara. "Perbedaan pilihan dan sikap politik tak harus berujung pada tindakan destruktif yang merugikan. Sebaliknya, siapa pun yang terpilih wajib membangun sistem perpajakan yang adil dan berkepastian hukum, meningkatkan penerimaan pajak, mengejar pengemplang, dan menggunakan uang pajak bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujar Yustinus. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat