Menko Darmin angkat bicara soal hasil audit BPK impor beras



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution angkat bicara atas temuan audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) perihal impor beras. Di mana, persetujuan impor beras yang diterbitkan pemerintah sepanjang 2015 hingga semester satu 2017 tidak sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri.

Darmin menuturkan kondisi ini lantaran adanya perbedaan data satu instansi dengan instansi lainnya. Meski sudah menggunakan metode dan memakai peta digital, tetap saja ada perbedaan data.

“Jangankan itu, sebetulnya panen raya tahun ini ada bulannya, di mana ketika itu produksi naik untuk memenuhi 5 hingga 6 bulan kebutuhan. Nah, tahun lalu itu di Maret kalau tahun sebelumnya di April sedangkan tahun ini, sebagian di Maret sebagian di April,” ujarnya saat di temui di gedung Kemenko Perekonomian, Selasa (22/5).


Darmin menjelaskan, ada perubahan di dalam pola tanam sehingga membuat produksinya berubah dan tidak mengikuti kurva seperti biasanya. Hal tersebut tentu mengakibatkan juga pembelian beras Bulog dari dalam negeri tidak setinggi tahun lalu.

Menurutnya, stok Bulog yang ada saat ini hanya 1,3 juta ton termasuk beras impor. “Stok itu kalau dikurangi impor berapa mungkin sekitar 800 ribu ton. kita harapkan Bulog bisa menyerap 2,2 juta ton hingga bulan Juni, namun hingga bulan Mei ternyata hanya 800 ribu ton. Terus kamu mau apa dengan angka itu?” jelasnya.

Di sisi lain, Darmin menjelaskan pada tahun 2015 terdapat fenomena alam el nino di mana Indonesia kesulitan untuk melakukan panen beras. Berdasarkan analisis itu, pemerintah putuskan untuk melakukan impor beras sebesar 1,5 juta ton dan hanya terealisasi hanya 600 ribu hingga 650 ribu ton. “Ya sisanya di tahun 2016, itu kamu mau buang?” ujarnya tegas.

Berdasarkan hasil audit BPK, ia memaparkan, pada 2016 kebutuhan beras nasional sebanyak 46,142 juta ton. Sementara itu, produksi dalam negeri mencapai 46,188 juta ton. Artinya, ada selisih surplus sebanyak 46 ribu ton.

Namun, pada tahun tersebut pemerintah justru menerbitkan persetujuan impor sebanyak 1.000.200 ton. "Penetapan angka impor tidak sepenuhnya akuntabel," ujar anggota BPK Rizal Djalil dalam sebuah forum diskusi yang membahas ketahanan pangan di kantor BPK, Senin (21/5).

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa tidak adanya data tunggal terkait pangan menjadi sumber utama permasalahan impor. Dalam data konsumsi, misalnya, hingga 2013 angka konsumsi per kapita per tahun yang digunakan pemerintah adalah 139,15 kilogram.

Sementara itu, dalam prognosis kebutuhan dan ketersediaan pangan 2014 dan 2015 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 124,89 kilogram per kapita per tahun.

Selain itu, lanjut Rizal, data luas lahan padi juga tidak akurat. Ada perbedaan angka sebanyak 300 ribu hektare antara luas lahan sawah yang digunakan dalam perhitungan produksi padi dan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto