Menko Luhut menolak revisi PPA listrik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Panjaitan tidak sepakat dengan rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sedianya melakukan revisi perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) kepada pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).

Luhut mengatakan bahwa apabila evaluasi sudah final, tidak perlu lagi ada evaluasi. Hal itu dapat mengganggu iklim investasi yang ada dan dianggap terlalu ribet berbisnis di Indonesia. Apalagi, kata Luhut, saat ini world bank memberikan banyak apresiasi kepada Indonesia. Karena Indonesia dianggap sebagai salah satu negara terbaik dalam iklim investasi.

"Kalau sudah PPA itu ya sudah final, jangan lagi ada evaluasi. Jadi Kalau memang amandemen itu prosesnya di PPA itu. Once PPA tanda-tangan ya sudah selesai, sudah final," terangnya di Kantor Kemaritiman, Kamis (23/11).


Asal tahu saja, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyurati Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Dan, meminta agar PLN meninjau kembali kontrak jual beli PLTU berskala besar yang berlokasi di Jawa.

Peninjauan kontrak jual-beli pembangkit listrik ini hanya untuk proyek yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.

Saat ini PLTU Cirebon Ekspansi 2 diklaim sudah merubah PPA listriknya. Dari yang harga jual beli listriknya Rp 6 cent per kWh menjadi Rp 5,5 cent per kWh. Juga, PLTU Jawa 3 yang masih dalam kajian.

"Untuk itu (PLTU Jawa 3), nanti biarkanlah mereka berproses, tapi kritik-kritik ini kita terima juga dengan baik. Tapi overall saya rasa tidak ada hal besar," tandasnya.

Sekretaris Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Ses Dirjen Ketenagalistrikan) Kementerian ESDM, Agus Tribusono menyatakan bahwa tujuan dari revisi PPA untuk IPP ini supaya harga listrik ke konsumen juga bisa turun.

"Tapi kalau memang tidak perlu direvisi ya tidak apa-apa. Apalagi yang sudah memakai 85% dari BPP," terangnya kepada Kontan.co.id, saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (23/11).

Ia menilai wajar, apabila yang direvisi PPA untuk IPP yang masih dalam tahapan konstruksi. Apalagi, belum mendapatkan jaminan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebab, belum ada kesepakatan yang mengikat.

Sementara untuk revisi PPA listrik yang 10 tahun ke atas akan dilaksanakan cukup melalui Business to Business (B to B) antara IPP dan PLN. "Sesuai dengan klausul dalam PPA listriknya kan, kalau ada perubahan harus ada kesepakatan kedua belah pihak," tandasnya.

Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sofyan Basir mengatakan apabila setelah dilihat PPA-nya terlampau mahal, akan dinegosiasikan untuk bisa dievaluasi.

"Kalau sistem lain murah, Jawa lain murah, transmisi selesai, daripada beli mahal kita matikan saja kita bayar dendanya (take or pay) tiap bulan kita evaluasi terus-menerus," tandasya.

Pengamat Energi dan Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai jika memang harga jual IPP ke PLN kemahalan, tidak ada salahnya dikoreksi. Buktinya, kata Fahmy, PT Adaro Energy (Tbk) tetap saja melanjutkan kontrak meski ada penurunan harga jual.

"Jadi wajar ada evaluasi, ada kepentingan bangsa lebih besar untuk menjual tarif dasar listrik (TDL) ke rakyat dengan harga terjangkau ketimbang pertahankan iklim investasi kondusif," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto