Menlu Retno singgung masalah perubahan iklim di debat terbuka DK PBB



KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan isu perubahan iklim merupakan isu yang penting baginya secara pribadi. Hal itu ia ungkapkan saat berbicara di pertemuan debat terbuka Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengenai Penanganan dampak perubahan iklim terhadap perdamaian internasional, di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu.

Asal tahu saja, menurut penelitian United Nations Population Fund (UNFPA), perubahan iklim dalam 100 tahun kedepan akan mengakibatkan kenaikan muka air laut di kota kelahirannya, Semarang, yang berpotensi menggenangi kawasan pesisir Semarang antara 1,7 kilometer (km) hingga 3 km persegi.

“Perubahan iklim adalah suatu kenyataan yang sedang terjadi saat ini” demikian ditegaskan Menlu Retno dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Kontan.co.id, Sabtu malam (26/1).


Dia bilang, Semarang yang secara ekonomi merupakan kota dinamis memiliki kemampuan untuk beradaptasi atas dampak perubahan iklim. Namun, banyak kota dan negara lain yang tidak memiliki kapasitas untuk beradaptasi. Akibatnya akan terjadinya kehilangan mata pencaharian masyarakat, kerentanan pangan, kehilangan wilayah dan teritori, serta terjadinya migrasi iregular. “Indonesia sangat prihatin dengan dampak dari perubahan iklim terhadap negara-negara kepulaun kecil, yang bahkan dapat mengancam keberlangsungan suatu bangsa,” ujar dia.

Lebih lanjut, Menlu RI menegaskan pentingnya mengembangkan kapasitas adaptasi negara terhadap perubahan iklim. Apabila hal ini tidak terwujud, maka potensi ancaman terhadap keamanan internasional, yang merupakan perhatian DK-PBB, akan semakin besar. “Ancaman perubahan iklim terhadap keamanan internasional sudah jelas, oleh karenanya DK-PBB harus dapat merespons ancaman-ancaman tersebut,” tegas Menlu Retno.

 Retno kemudian menyampaikan tiga poin terkait dengan peran DK-PBB dalam mendukung upaya penanganan dampak keamanan dari perubahan iklim. Pertama, DK-PBB harus mengkonsolidasikan upaya bersama untuk menanggulangi ancaman keamanan yang diakibatkan perubahan iklim.

Pasukan perdamaian PBB khususnya, perlu dibekali kapasitas untuk melaksanakan tugas selain operasi militer, seperti operasi penanggulangan bencana dan pembangunan pasca bencana. Mengenai hal ini, Indonesia siap untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. “Pasukan perdamaian PBB tidak saja hanya dapat melakukan operasi militer, namun juga harus dapat menjalankan climate peace mission,” kata mantan Duta Besar Indonesia untuk Belanda itu.

Kedua,  pendekatan terhadap pemeliharaan perdamaian atau peacekeeping serta penciptaan perdamaian atau peacebuilding harus mendorong sinergi antara keamanan dan pembangunan. Hal ini mengingat bahwa perdamaian dan pembangunan saling terkait.

Ketiga, Menlu Retno menegaskan bahwa tanggung jawab untuk melakukan mitigasi dan adaptasi dari perubahan iklim merupakan tanggung jawab masing-masing negara. Selain itu, peran organisasi kawasan yang lebih aktif dalam penanganan bencana akibat perubahan iklim, seperti ASEAN di kawasan Asia Tenggara juga penting. “ASEAN telah memperkuat kapasitas AHA Center dalam penanganan bencana alam secara terkordinasi, One ASEAN One Response,” tegas dia.

Pertemuan debat terbuka Dewan Keamanan PBB mengenai penanganan dampak perubahan iklim terhadap perdamaian internasional, selain dihadiri 15 anggota DK-PBB juga dihadiri oleh negara anggota PBB lainnya. Selain itu, turut hadir Presiden COP-24 UNFCCC, Mr. Michal Kurtyka, Sekretaris Negara Kementerian Energi Polandia.

Editor: Khomarul Hidayat