Menlu Rusia Sebut Risiko Perang Nuklir di Ukraina Semakin Besar dan Nyata



KONTAN.CO.ID - MOSKOW. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, pada hari Senin memberi peringatan kepada Barat bahwa risiko perang nuklir di Ukraina tidak bisa diremehkan. Lavrov juga menyadari bahwa risiko tersebut kini semakin besar dan nyata.

Berbicara di siaran televisi pemerintah pada hari Senin (25/4), Lavrov memandang NATO kini telah terlibat dalam perang proxy dengan Rusia karena terus memasok senjata ke Ukraina.

Menurut Lavrov, inti dari setiap kesepakatan untuk mengakhiri konflik di Ukraina akan sangat bergantung pada situasi militer di lapangan. Ikut sertanya NATO dalam konflik Rusia dan Ukraina ini dianggap akan memperpanjang masalah dan memperbesar risiko perang nuklir.


"Ini adalah posisi kunci kami di mana kami mendasarkan segalanya. Risikonya sekarang cukup besar," kata Lavrov, seperti dikutip Reuters.

Baca Juga: Lockheed Martin Kebanjiran Pesanan THAAD dan PAC-3 Sejak Perang Ukraina Meletus

Lavrov meyakinkan bahwa negaranya telah melakukan banyak hal untuk menegakkan upaya mencegah perang nuklir dengan segala cara. Sayangnya, kini risiko itu dianggap semakin terlihat.

"Saya tidak ingin meningkatkan risiko itu secara artifisial. Banyak yang menyukai itu. Bahayanya serius, nyata. Dan kita tidak boleh meremehkannya," lanjut Lavrov.

Lavrov mengatakan pasokan senjata canggih Barat ke Ukraina adalah tindakan provokatif yang memang diperhitungkan untuk memperpanjang konflik, bukan untuk mengakhirinya. Diplomat senior Rusia ini juga menyalahkan AS atas kurangnya dialog.

"Senjata-senjata ini akan menjadi target yang sah bagi militer Rusia yang bertindak dalam konteks operasi khusus. NATO, pada dasarnya, terlibat dalam perang dengan Rusia melalui proxy dan mempersenjatai proxy itu. Perang berarti perang," tegasnya.

Baca Juga: AS Pasok Senjata Tambahan ke Ukraina, Rusia Beri Peringatan Ini

Lavrov mengatakan otoritas Ukraina selama ini tidak memiliki itikad baik dalam bernegosiasi. Presiden Ukraina Vlodomyr Zelensky dinilai terlalu banyak bermain di publik daripada menangani tugas utamanya, yaitu bernegosiasi.

Invasi Rusia ke Ukraina tercatat sebagai serangan militer terbesar di benua Eropa sejak Perang Dunia II. Puluhan ribu orang telah tewas sejak invasi dimulai pada 24 Februari lalu. Lebih dari 5 juta orang Ukraina juga melarikan diri dari negaranya dan menciptakan gelombang migrasi baru di Eropa.

Oleh Rusia, tindakannya disebut sebagai operasi militer khusus yang bertujuan untuk melucuti senjata Ukraina dan melindungi negara tersebut dari pengaruh fasis. Pihak Ukraina dan Barat menilai klaim Rusia tersebut hanya alasan untuk melegalkan agresi.