KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Seiring dengan perkembangan zaman, batik perlahan mulai ditinggalkan kebanyakan generasi muda yang cenderung lebih tertarik dengan pakaian-pakaian yang sedang
trending seperti:
streetwear, contemporary fashion, dan lainnya. Batik cenderung dipandang terlalu formal, terlihat kaku, bahkan kolot, tidak sedinamis pakaian-pakaian trending yang sedang populer belakangan ini. Memang, kebanyakan batik masih didominasi motif-motif lawasan dengan warna-warna yang cenderung gelap, sebuah kombinasi yang sudah tidak menarik lagi dimata kebanyakan generasi muda yang sekarang ini berani tampil lebih bold.
Melihat realita yang ada, banyak produsen batik segera berinovasi, mereka berlomba-lomba untuk memodifikasi batik dan mencoba menyesuaikannya dengan selera pasar yang kian modern.
Baca Juga: Mengenal Sejarah Bendera Merah Putih Pertama serta Makna Dibalik Warnanya Salah satu inovasi yang sering diadopsi adalah konsep
fast fashion dimana produsen batik cap dan
printing memadukan bahan batik dengan bahan lainnya untuk menciptakan beragam model pakaian batik secara kilat dengan
looks yang lebih
casual dan
stylish serta harga yang kompetitif. Strategi ini terbilang cukup sukses menggaet minat generasi muda yang memang sudah sangat fasih dengan
trend fast fashion ini. Namun sayangnya, strategi
fast fashion ini tidak dapat dinikmati oleh seluruh produsen batik, khususnya pengrajin batik tulis yang memproduksi batik secara handmade seutuhnya dengan kualitas, dan detail terbaik. Proses pengerjaan batik tulis sendiri bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan per lembar batik tulis. Sehingga dari segi harga, proses, serta kualitas pun tidak memungkinkan untuk mengadopsi konsep
fast fashion yang berfokus pada penciptaan beragam model sesuai dengan trend dalam waktu singkat.
Baca Juga: Pertamina Subholding Upstream ikut berpartisipasi di Foire Internationale D’Alger “Beda dengan teman-teman pengrajin cap atau
printing, kalau mereka cenderung lebih produksi massal ya. Batik tulis ga mungkin seperti itu, jadi berat kalau disuruh mengikuti
trend fast fashion. Mau tidak mau jadi kita harus punya strategi beda supaya tetap bisa relevan. Di situ akhirnya kita lebih mainin ke corak motif batiknya, dibuat lebih kontemporer sama pewarnaan dibuat lebih berani dengan warna-warna modern.” Ungkap Abel Hesed, founder Batik Wolter, salah satu brand batik tulis Ibu Kota dalam keterangannya, Rabu (7/9). Abel mengakui cukup berat awalnya untuk beralih dari motif lawasan yang sudah sangat kental dengan image kerajinan batik, ke motif kontemporer yang sebetulnya berjauhan dari konsep batik klasik pada umumnya.
Baca Juga: Hari Batik Nasional, ada promo Sekar Jagad Anne Avantie di katalog Tupperware Oktober Namun dengan pendekatan Batik Wolter yang lebih personal dan relevan bagi generasi muda, resiko yang diambil ini pun membuahkan hasil. Batik tulis dengan motif-motif seperti singa, harimau, naga, elang, merak, cenderawasih pun tidak hanya diterima tapi bahkan digandrungi oleh pasar, terbukti dari jumlah pengikut Instagram @batikwolter yang telah mencapai 124 ribu followers hanya dalam 2 tahun belakangan saja, menjadikannya salah satu top of mind brand batik tulis Nusantara. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli