Menperin berharap bisa satu visi dengan Mendag soal rotan



JAKARTA. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat berharap bisa menjalankan visi yang sama dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu soal kebijakan ekspor bahan baku rotan. Hidayat mengaku, memang tidak secara spesifik membahas aturan rotan yang diberi tenggat waktu selama dua pekan. Pembahasan regulasi itu dilakukan oleh tim kecil yang beranggotakan pejabat eselon satu dari kedua kementerian. "Mudah-mudahan bisa satu visi dengan Mendag. Jangan dikonfrontasikan karena secara pribadi kami berbeda visi," tuturnya, Jumat (30/9). Dia meyakinkan, kementeriannya masih pada sikap untuk menghentikan ekspor bahan baku rotan. Nantinya, bahan baku rotan itu akan diserap oleh badan penyangga daerah yang bakal memberikan nilai tambah sebelum disalurkan ke badan penyangga pusat. Intinya, dia menegaskan, arah kebijakan yang diusungnya untuk mengamankan pasar domestik. Jangan sampai kesulitan industri dalam negeri untuk bersaing dengan produk impor terus berkelanjutan. Padahal, produk impor itu mendapat pasokan bahan baku dari Indonesia. Selain itu, niatnya untuk mempertahankan kebijakan penghentian ekspor bahan mentah itu, katanya, jangan dikonfrontasi dengan aturan yang dirilis World Trade Organization (WTO). Kebijakan yang tengah dirumuskan itu bertujuan untuk mendukung produksi nasional. Salah satu yang dibahas yaitu soal desain pembentukan badan penyangga untuk menyerap rotan hasil produksi dalam negeri yang selama ini diekspor. Badan penyangga itu diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp 128 miliar. Perhitungan kebutuhan dana itu bermula dari jumlah alokasi ekspor rotan yang selama ini terealisasi. Sekitar 85% atau setara dengan 140.000 ton produksi rotan dunia berasal dari Indonesia. Dari total produksi rotan dalam negeri itu, sekitar 32.000 ton diekspor ke berbagai negara seperti China. Dirjen Pengembangan Pewilayahan Industri Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi menuturkan, badan penyangga itu yang akan berperan menyerap 32.000 ton rotan ekspor agar daerah penghasil komoditi tersebut tidak dirugikan akibat kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah. Dengan asumsi setiap tahunnya badan penyangga harus menyerap sebanyak 32.000 ton rotan asalan dengan harga Rp 4.000 per kilogram (harga rotan asalan atau mentah) maka kira-kira dibutuhkan dana sekitar Rp 128 miliar untuk mengembangkan rencana itu. Untuk pengelola badan penyangga, lanjut Dedi, bisa memberdayakan badan usaha milik negara/daerah (BUMN/BUMD). Bahkan, pihak swasta pun diperkirakan akan berminat berinvestasi menggarap kelembagaan itu. "Dana awal kita usahakan dari swasta atau pihak mana pun yang berminat," ujarnya. Oleh badan penyangga itu, nantinya, rotan asalan yang terserap akan diolah menjadi bahan setengah jadi yang bernilai tambah. Misalnya menjadi rotan irit yang bernilai Rp 17.000 per kilogram dan rotan poles seharga Rp 12.000 per kilogram. Dengan adanya pengolahan rotan asalan, badan penyangga berpotensi mendapatkan tambahan dana dari nilai tambah produk itu untuk menyerap lebih banyak rotan asalan. "Karena kita juga nantinya berencana menyerap rotan untuk kebutuhan dalam negeri juga," ucapnya. Konsep badan penyangga itu, jelas Dedi, sebagai pengatur rantai suplai rotan dalam negeri. Kelembagaan itu akan memberdayakan penghasil rotan agar bisa memberikan nilai tambah pada hasil produksinya. Badan penyangga itu rencananya akan ditempatkan di daerah penghasil rotan terbesar di Indonesia seperti Palu Sulawesi Tengah, Pidie Aceh, Kendari Sulawesi Tenggara, dan Katingen Kalimantan Tengah. Keempat wilayah ini diagendakan menjadi proyek perdana pelaksanaan badan penyangga. Nantinya, rotan hasil produksi daerah tersebut akan diolah menjadi bahan setengah jadi. Setelah itu, Cirebon yang menjadi badan penyangga pusat akan menjadi pusat produksi akhir. "Nanti kita arahkan Cirebon jadi pusat marketingnya saja. Secara bertahap badan penyangga pun akan diperluas ke daerah lainnya," tutur Dedi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.