KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro memperkirakan vaksin merah putih yang dikembangkan oleh enam Institusi di Indonesia baru bisa digunakan pada 2022. Hal ini melihat proses perkembangan vaksin tersebut. "Ini memang kebanyakan dari vaksin merah putih kemungkinan baru bisa digunakan atau mendapatkan izin di tahun 2022," ujar Bambang dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (3/2). Bambang menjelaskan, pihaknya bertanggung jawab hingga menyerahkan bibit vaksin ke industri. Setelah itu, masih ada proses lain yang harus dilakukan di pabrik seperti preklinis ke hewan, purifikasi hingga validasi.
"Tetapi kami tetap berkomunikasi dengan Bio Farma apabila ada cara untuk mempercepat di sisi industrinya. Tentunya kami memahami bahwa Bio Farma juga mempunyai tugas untuk memproduksi Sinovac, yang saat ini memberikan bahan baku untuk diolah lebih lanjut," terang Bambang.
Baca Juga: Apa kabar vaksin Merah Putih? Ini penjelasan Menristek Adapun, enam institusi yang mengembangkan vaksin merah putih ini menggunakan berbagai platform. Lembaga Eijkman yang menggunakan protein rekombinan, LIPI menggunakan protein rekombinan, Universitas Indonesia (UI) dengan menggunakan DNA, mRNA, juga dengan
virus-like-particles, Institut Teknologi Bandung (ITB) menggunakan
vector adenovirus, Universitas Gadjah Mada (UGM) menggunakan protein rekombinan, dan Universitas Airlangga (Unair) menggunakan
adenovirus dan
adeno-associated virus. Menurut Bambang, platform yang paling dominan digunakan adalah protein rekombinan. Platform ini paling banyak digunakan untuk vaksin sebelumnya. Lebih lanjut, Bambang pun mengatakan untuk melakukan hilirisasi dari bibit vaksin tersebut tak bisa hanya bergantung pada PT Bio Farma, mengingat perusahaan tersebut hanya bisa menangani 2 platform, yakni protein rekombinan dan
inactivated virus. Karena itu, Bambang pun menyebut akan ada beberapa perusahaan swasta yang dilibatkan. Beberapa di antaranya sangat serius masuk ke pengembangan vaksin mulai dari PT Kalbe Farma, PT Daewoong Infion, PT Biotis Pharmaceuticals, dan PT Tempo Scan Pacific. "Kita harapkan nantinya pabrik-pabrik tersebut selain bisa meningkatkan kapasitas produksi vaksin, juga bisa menambah variasi platform vaksin yang digunakan dalam pengembangannya," ujar Bambang.
Baca Juga: Menkes: Jika Indonesia lockdown, kayak perang Amerika-Vietnam Lebih lanjut, Bambang juga mengatakan bahwa berdasarkan jadwal yang sudah dibuat, vaksin dari Unair sebenarnya sudah ditargetkan untuk diproduksi massal di akhir 2021. Namun, hal tersebut bisa dilakukan bisa sudah ada industri yang bisa memproduksi vaksin tersebut.
Karenanya, dia berharap perusahaan swasta yang sedang mengurus izin ke BPOM untuk mendapatkan cara pembuatan obat yang baik, bisa berkonsentrasi pada adenovirus dan bisa melakukan hilirisasi dari bibit vaksin yang disiapkan Unair. Hal yang sama juga terjadi untuk UI yang menggunakan platform yang relatif baru. Sehingga vaksin tersebut belum bisa diproduksi oleh Biofarma.
Baca Juga: Alasan Bio Farma ubah kemasan vaksin Covid-19 asal Sinovac Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati