Mentan: Terjadi tren penurunan produk tembakau



JAKARTA. Menteri Pertanian Suswono yang selama ini dikenal enggan berbicara masalah pengendalian produk tembakau, sekarang sudah sedikit buka suara. Dalam sambutan seminar, Menteri Pertanian Suswono, mengatakan pemerintah selalu menghadapi dilema antara perlindungan terhadap petani dan isu kesehatan.

Mentan menyadari pemerintah harus mengikuti regulasi pengendalian tembakau seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Ke depan, tren yang terjadi adalah akan terjadi penurunan produk tembakau. “Ttren yang terjadi sekarang kita mau tidak mau pada akhirnya harus mengikuti regulasi seperti FCTC, masalahnya di timing-nya saja,” tutur Mentan dalam sambutan sebagai keynote speaker dalam seminar nasional di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Banten, Rabu (8/1).

Menteri Pertanian mengatakan pemerintah akan mendorong diversifikasi produk tanaman tembakau dan mendorong alih tanam ke produk lain yang lebih menguntungkan. “Untuk kita harus bersiap,” kata Mentan yang juga petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).


Diantara permasalahan petani Tembakau saat ini adalah terbatasnya penggunaan Tembakau -mayoritas hanya pada rokok- padahal banyak sekali produk lain yang bias dikembangkan.

Seminar bertema “Memetakan Masalah & Solusi bagi Kesejahteraan Petani Tembakau Dalam UU 19/2013 tentang Perlindungan Petani” dibuka oleh Menteri Pertanian, Ir.Suswono. Seminar menghadirkan sejumlah pakar/peneliti dalam bidang pertanian tembakau yaitu Ir. Mastur, M.Sc., Ketua Balai Penelitian Tanaman Serat dan Pemanis (Balittas) Kementerian Pertanian RI, Ir. Agus Hasanudin Rachman, Tenaga Khusus Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Bambang Suwignyo, Wakil Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP. Muhammadiyah.

Pada tahun 2012 industri rokok di Indonesia memproduksi 302 milliar batang meningkat sebanyak 54 miliar batang dari produksi tahun 2010 sebanyak 248,4 miliar batang. Ironisnya dalam perkembangannya pertanian tembakau pada masa kini tidak menunjukkan keuntungan yang nyata bagi sebagian besar petani tembakau. Meskipun termasuk penghasil daun tembakau keenam setelah Cina, Brazil, India dan Amerika Serikat dan Malawi, namun Indonesia hanya memproduksi 1,9 % daun tembakau dunia.

Total produksi tembakau Indonesia mengalami penurunan dari 156 ribu ton tahun 1990 menjadi 135 ribu ton tahun 2010. Ini sejalan dengan luas lahan tanaman tembakau. Dalam kurun waktu tahun 1990-2009, persentase luas lahan tembakau terhadap wilayah yang tersedia menunjukkan kecenderungan yang menurun, yaitu dari 1,16% pada tahun 1990 menjadi 0,87% pada tahun 2009. Sehingga 60% daun tembakau yang beredar di Indonesia adalah impor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan industri rokok.

Selain permasalahan diatas, petani tembakau juga mengalami kesulitan terkait dengan semakin tidak menentunya kondisi cuaca dan musim. Tembakau yang merupakan jenis tanaman semusim yang hanya bisa dibudidaya di musim panas, tidak bisa bertahan ketika hujan tiba. Perubahan iklim seringkali memposisikan petani dalam kondisi merugi karena mengalami gagal panen.

Berbagai penelitian lapangan yang juga dipaparkan pada seminar ini menunjukkan bahwa petani juga mengalami kesulitan terkait dengan tata niaga tembakau. Pasar tembakau yang bersifat monopsoni, memunculkan beberapa persoalan. Petani tidak bisa langsung menjual kepada pabrik, namun harus melalui tengkulak, grader dan pedagang besar. Pada persoalan harga, Petani tidak pernah tahu bagaimana grader menentukan harga daun tembakau sehingga posisi tawar petani berada pada posisi yang lemah.

Harga tembakau berlapis-lapis tergantung dari kualitas daun tembakau dari terbawah hingga teratas antara Rp 10.000 hingga Rp 70.000 per kilogram. Bahkan ada yang hingga harga anjlok pada Rp 4.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris