Menteri Bahlil: Sampai Langit Runtuh, Larangan Ekspor Bijih Nikel Tetap Berjalan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan larangan ekspor nikel mentah jadi sorotan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan kebijakan larangan ekspor bijih nikel akan tetap diberlakukan.

Penegasan ini disampaikan menanggapi rekomendasi  IMF yang meminta Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

“Sampai langit mau runtuh pun kebijakan hirilisasi akan tetap menjadi kebijakan di masa Presiden Jokowi dan Ma’aruf Amin, dan larangan ekpsor akan tetap dijalankan,” tutur Bahlil dalam konferensi pers, Jumat (30/6).


Menurutnya, alasan IMF mengimbau Indonesia untuk mencabut kebijakan larangan ekpsor bijih nikel tidak sesuai fakta, yakni jika Indonesia melarang ekspor bijih nikel tersebut akan berimbas pada penerimaan negara dan juga berimbas pada negara lain.

“IMF mengatakan negara kita akan rugi, ini di luar nalar berpikir sehat saya. Dari mana rugi? Justru dengan hilirisasi akan menciptakan  nilai tambah tinggi di negara kita. IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk dorong transformasi struktural, namun IMF menentang bijakan larangan eskpor. Ini aneh,” kata Bahlil.

Baca Juga: IMF Minta Indonesia Cabut Larangan Ekspor Nikel, Apa Kata Pemerintah?

Dia mencontohkan dengan adanya kebijakan hirilisasi dan larangan ekspor seperti nikel. Begitu kebijakan ekspor nikel dilarang dengan melakukan hirilisasi, nilai ekspor nikel menjadi US$ 30 miliar, jauh lebih besar jika dibandingkan ekspor nikel pada 2017 hingga 2018 yang  hanya  sebesar US$ 2,3 miliar.

Bahkan, pada 2016 hingga 2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China sebesar US$ 18 miliar.

Namun dengan adanya hirilisasi dengan mendorong ekspor yang tidak lagi dalam bentuk komoditas alias dalam bentuk barang setengah jadi dan jadi, di tahun 2022, defisit neraca perdagangan dengan China hanya US$  1,8 miliar, dan di kuartal I 2023 surplus US$  1,2 miliar.

Bahlil menambahkan, dengan adanya hasil hirilisasi di Indonesia, surplus neraca perdagangan sudah berlangsung selama 25 bulan berturut-turut. Bahkan, neraca pembayaran juga mengalami perbaikan bahkan terjadi hirilisasi.

“Terkait pernyataan IMF soal pendapatan negara akan berkurang, justru 2021 hingga 2022, target pendapatan negara tercapai terus. Dan tidak hanya berbicara pada pendapatan negara, akibat hilirisasi jusru terjadi pemerataan di daerah-daerah, utamanya daerah penghasil bahan baku” jelasnya.

Bahlil mengakui dari sisi pendapatan pajak ekspor komoditas memang akan berkurang dari kebijakan larangan tersebut. Namun, hasil dari membangun hirlilisasi komoditas justru akan menghasilkan pendapatan dari PPh badan, PPN, serta PPh pada 21 dari tenaga kerja.

Bahlil membantah kebijakan larangan ekspor nikel akan merugikan negara lain. Menurutnya kebijakan yang dipilih Indonesia sudah pada jalan yang benar. Meski begitu, Bahlil tetap menghargai pendapat IMF, namun tetap tidak akan terpengaruh atas arahan yang diberikan.

“Memang kalau negara kita rugi, negara lain memikirkan kita? Jadi IMF enggak usah campur-campur urusan Indonesia.  Bahkan IMF mengakui ekonomi Indonesia sudah baik. Namun mengomentari larangan ekspor. Ini standar ganda,” imbuh Bahlil.

Baca Juga: RI Diminta Hapus Larangan Ekspor Nikel, Luhut Akan Sambangi AS untuk Bertemu Bos IMF

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat