Menteri BUMN Paksa Antam Beli Newmont



JAKARTA. Meski PT Aneka Tambang Tbk (Antam) telah memutuskan mundur dari Konsorsium Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), cerita divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara belum tutup buku. Penandatanganan perjanjian divestasi gagal terlaksana, kemarin.

Keputusan itu diambil dalam pertemuan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Newmont di Jakarta, kemarin. Sebab, acara itu hanya dihadiri pejabat eselon satu Departemen Keuangan. Sehingga, tidak bisa menetapkan keputusan final.

"Satu-satunya keputusan adalah menunda penandatanganan divestasi," kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB Heriyadi Rahmat, kepada KONTAN. Penundaannya hingga 23 November nanti. Padahal, Depkeu meminta penundaan hingga dua bulan. "Tapi Newmont keberatan bila diundur terlalu lama," ujar Heriyadi.


Penundaan itu seakan memberi kembali harapan bagi Antam untuk mendapatkan saham Newmont. Bimo Budi Satriyo, Sekretaris Perusahaan Antam, bilang perusahaan masih membuka kemungkinan kembali masuk ke konsorsium. Syaratnya, NTB memberi penawaran baru dengan porsi saham yang lebih besar.

Di tempat terpisah, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar memaksa perusahaan pelat merah itu tetap membeli Newmont. "Berapa pun porsinya," tandasnya. Tapi, keputusannya masih menunggu Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang kini sedang mengikuti forum APEC di Singapura.

Seperti diberitakan KONTAN kemarin, Antam memutuskan mundur dari konsorsium dengan alasan jatah saham yang dia peroleh tidak mendatangkan nilai strategis. Antam menginginkan 15,5% saham Newmont, atau 50% dari jatah divestasi saham kurun 2006-2009 sebanyak 31%.

Tapi, NTB sebagai pemimpin konsorsium hanya mau memberikan jatah 37,5% saham dari total 31% saham divestasi. Porsi yang sama diberikan kepada anak usaha PT Bumi Resources Tbk, yaitu PT Multicapital

Sumber KONTAN yang terlibat dalam proses divestasi ini bilang, Antam ngotot menguasai 15,5% saham Newmont agar bisa menempatkan direksi di perusahaan tambang itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan