Menteri ESDM buka suara soal peningkatan produksi dan fleksibilitas kontrak migas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif buka-bukaan soal alasan penerapan fleksibilitas kontrak migas dan upaya peningkatan produksi. Arifin mengungkapkan pengenalan skema Gross Split saat itu didasari untuk mengontrol penghitungan biaya-biaya yang akan dikeluarkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

"Dalam kegiatan WP&B KKKS dan SKK Migas disampaikan rencana produksi dan kerja termasuk biaya yang akan dikeluarkan itu butuh waktu lama, harus bisa evaluasi detail item kegiatan dan biaya. Maka waktu itu juga dianggap Cost Recovery ini suatu yang tidak bisa dikontrol," ujar Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (2/9).

Kendati demikian, dalam perjalanan waktu penerapan skema kontrak Gross Split juga menemui sejumlah titik persoalan. Arifin mengungkapkan, penggunaan skema Gross Split untuk lapangan migas baru yang umumnya memiliki resiko tinggi tidak begitu diminati para kontraktor asing.


Baca Juga: SKK Migas siap tingkatkan produksi dengan skema no cure no pay

Penerapan skema gross split dinilai lebih tepat dilaksanakan pada lapangan migas lama sebab telah memiliki data yang dibutuhkan sehingga para kontraktor tidak perlu berspekulasi lagi.

Arifin memastikan, produksi migas domestik memang mengalami tren penurunan sejak 2011 silam. Penurunan produksi mencapai 120 ribu barel per hari hingga 125 ribu barel per hari. "Yang kami lakukan adalah meminta SKK Migas agar para KKKS mengurangi downtime sehingga penurunan tidak drastis," ujar Arifin.

Selain itu, Ia mengungkapkan pemerintah mengambil langkah untuk mengaktifkan kembali lapangan migas yang tidak lagi berproduksi untuk diserahkan pengelolaannya ke Pertamina. Arifn menjelaskan, saat ini pihaknya tengah mempersiapkan agar pengelolaan lapangan-lapangan tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak swasta.

Baca Juga: Merugi Rp 11 triliun, Pertamina tetap incar akuisisi blok migas di luar negeri

Menurutnya, dalam upaya mencapai target produksi 1 juta barel pada 2030 mendatang, para KKKS yang WK Migas-nya mengadopsi skema kontrak Gross Split menemui kesulitan akibat ketidakpastian sumber cadangan migas. "Mereka umumnya mengusulkan perubahan split. Ini yang harus disiapkan ke depannya untuk skema split yang fair untuk berbisnis dengan KKKS," pungkas Arifin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .