KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menekankan pentingnya akselerasi pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia dalam mengantisipasi krisis ekonomi dan krisis energi. Tak hanya di Indonesia, negara-negara di dunia juga melakukan berbagai langkah antisipatif dalam mengembangkan EBT. Arifin menjadikan India sebagai perbandingan. Menurutnya, India sudah melakukan banyak program dan komitmen dalam mereformasi sektor energi, seperti pengurangan konsumsi gas dan batubara dalam beberapa waktu ke depan.
"Kita tahu Indonesia banyak mengekspor batubara ke India sehingga membutuhkan suatu pemikiran ke depan bagaimana memanfaatkan energi kita," ungkap Arifin sebagaimana dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, Kamis (13/8).
Baca Juga: Sumber Energi Sukses Makmur menyerahkan dana riset PhotoVoltaic ke ITB Salah satu sumber EBT yang menjadi sorotan Arifin untuk bisa dikonversi sebagai listrik adalah bioenergi. Sumber energi tersebut memiliki potensi 32,6 Giga Watt (GW), akan tetapi baru terealisasi sebesar 5,8% atau 1.895,7 Mega Watt (MW). Menurutnya, salah satu keberhasilan pengembangan bioenergi adalah dengan diresmikannya pabrik katalis merah putih di Bandung beberapa waktu lalu. Pabrik tersebut merupakan pabrik katalis nasional pertama di Indonesia yang dikembangkan sejak tahun 1982 oleh ilmuwan Institut Teknologi Bandung. Pabrik tersebut diharapkan mampu memenuhi kebutuhan industri pengilangan minyak, kimia dan petrokimia, serta industri energi. "Bioenergi sangat penting ke depan, terutama nanti kalau minyak habis, gas sedikit. Bioenergi ini adalah salah satu andalan kita. Kita jangan berpikir sekarang, tapi ke depan pada saat minyak mahal, kita akan memanfaatkan bioresources ini," kata Arifin. Jenis sumber EBT lain yang punya potensi besar namun belum teroptimalkan secara baik adalah panas bumi (23,9 GW), bayu atau angin (60,6 GW), Hidro atau air (75 GW), surya (207,8 GW) dan samudera. "Samudera, ocean resources kita punya potensi hampir 18 GW tapi masih 0%, belum termanfaatkan," ungkap Arifin. Saat ini, Kementerian ESDM tengah melakukan juga tengah mengembangkan pilot project alias uji coba energi samudera di beberapa lokasi untuk menghitung keekonomian proyek listrik dari energi laut ini. "Ada beberapa lokasi kita lakukan uji coba. Kita lakukan uji coba, pilot dulu, untuk bisa meningkat kalau sudah bisa menghitung keekonomiannya," ungkap Arifin. Dalam paparan Arifin, ada dua teknologi yang sedang dikaji dan diuji coba untuk memanfaatkan energi samudera menjadi listrik. Pertama, teknologi gelombang laut. Penggunaan teknologi ini melalui Oscillating Water Column (OWC) berpeluang ditempatkan di perairan selatan Enggano. Sedangkan teknologi gelombang laut menggunakan heaving device berpotensi di wilayah Mentawai. Kedua, teknologi energi panas laut atau Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) di perairan Bali Utara. Balitbang ESDM pun sudah melakukan feasibilty study (FS).
Baca Juga: Pengembangan EBT masih minim, begini strategi PLN capai target FS tersebut dilakukan pada teknologi arus laut di Selat Alas antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Juga dilakukan di Selat Sape (antara Pulau Sumbawa dan Pulau Komodo), dan Selat Pantar (antara Pulau Pantar dan Pulau Alor).
Pemerintah sendiri menegaskan terus meningkatkan porsi energi bersih dalam bauran energi dengan mendorong investasi EBT. Dalam Paris Agreement, komitmen Indonesia di sektor EBT juga cukup kuat dengan menargetkan bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025. Adapun tindakan mitigasi yang dilakukan, diantaranya pengalihan anggaran subsidi bahan bakar ke kegiatan produk produktif seperti infrastruktur. "Kita juga akan melaksanakan pemanfaatan
waste to energy. Komitmen kita di sektor energi itu menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030. Bagaimana bisa memanfaatkan sumber-sumber yang ada di dalam negeri yang potensinya masih besar ini," tutup Arifin. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto