Menteri ESDM tegaskan pentingnya kewajiban hilirisasi nikel di Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai, hilirisasi di sektor mineral dan batubara (minerba) telah menjadi amanat Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

Kewajiban hilirisasi yang melekat pada industri pertambangan tidak lain adalah untuk memberikan nilai tambah bagi hasil tambang.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kewajiban dari industri pertambangan adalah berpartisipasi dalam proses hilirisasi melalui pembangunan smelter sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2020. 


Baca Juga: Kementerian ESDM bercita-cita bangun industri hilir batubara kapasitas 37,6 juta ton

"Kita memang mewajibkan pengolahan sumber-sumber mineral kita. Harus diolah lebih lanjut sehingga bisa memberikan nilai tambah," ujar dia dalam siaran pers di situs Kementerian ESDM, Selasa (28/7).

Saat ini, terdapat 48 proyek smelter nikel yang ditargetkan seluruhnya dapat beroperasi pada tahun 2024, terlepas dari kendala yang dialami para investor akibat pandemi Covid-19 maupun kesulitan lainnya.

"Memang sekarang ada kendala yang timbul yang diakibatkan kondisi sekarang dan juga kesulitan lain dari industri pertambangan untuk membangun smelter," ungkap Arifin.

Makanya, ia bilang, Kementerian ESDM terus berupaya untuk menjembatani kebutuhan para investor tersebut untuk dapat merealisasikan proyek smelter yang sudah direncanakan. Hal itu juga untuk mewujudkan cita-cita Indonesia di sektor minerba, yakni membangun industri hilirisasi dari hulu ke hilir yang memberikan nilai tambah yang tinggi, menyerap tenaga kerja, dan hal positif lainnya.

Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah, khususnya bagi bijih nikel berkadar rendah adalah dengan proses hidrometalurgi. Proses ini dapat mengolah bijih nikel dengan kadar rendah menjadi logam nikel murni.

"Sekarang ini ada proses hidrometalurgi, proses yang bisa memproses bijih nikel berkadar rendah. Waktu belum ada larangan ekspor, sulit untuk melakukan kontrol kadar nikel yang kita ekspor. Ke depan sudah akan dibagi, untuk nikel jensi limonit akan diproses dengan hidrometalurgi yang berkadar lebih besar dari 1,8% bisa dicampur dengan yang rendah. Sehingga bisa menambah kemampuan kita berproduksi," terang Arifin.

Baca Juga: Pemerintah pastikan tak sembarangan dorong investasi hilirisasi tambang

Dia juga menjelaskan, Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak 21 juta ton yang bisa bertahan lebih dari 30 tahun.  Adapun 48 proyek smelter nikel berlokasi di Banten, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. 11 smelter di antaranya sudah beroperasi, sedangkan 19 smelter lainnya sedang dalam tahap konstruksi.

"Khusus untuk smelter nikel kadar rendah akan menghasilkan produk mixed hydroxide preciptate (MHP), yang merupakan prekursor untuk memproduksi baterai. Ada rencana 6 smelter dan kemungkinan 1 smelter tambahan dari konsorsium BUMN. Seluruhnya kita harapkan dapat beroperasi pada 2024 dan full capacity dapat dilakukan 2-3 tahun setelah beroperasi," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi