KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, mengungkapkan pemerintah mendorong industri batubara yang berorientasi pada hilirisasi untuk energi baru dan terbarukan. Hilirisasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) ini dikembangkan menjadi sumber energi alternatif pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG). Maklum, impor migas terutama untuk LPG di Indonesia terus melonjak. "Kita kan impor gas, 6 juta ton per tahun. Kita sudah pernah dulu, Pak Presiden Jokowi sudah melakukan
groundbreaking untuk bikin DME. Untuk mengelola batubara low-calorie menjadi LPG. Tapi saya tahu ada yang mengintercept [intersep]," kata Bahlil dalam Green Initiative Conference di Jakarta, Rabu (25/9).
Baca Juga: Resmikan Tiga Smelter, Pemerintah Kebut Hilirisasi Bahlil menuturkan, sewaktu dirinya menjadi Menteri Investasi ada "permainan" di proyek DME ini. Untuk itu, saat ini ketika Bahlil menjadi Menteri ESDM sekaligus Ketua Partai tidak ada lagi yang mencoba-coba intercept, jika ada pun akan diintercept balik. "Waktu saya jadi Menteri Investasi. Saya tahu ini ada mainan, diintercept. Begitu saya masuk di Menteri ESDM, rasanya yang mencoba-coba
intercept, saya akan intercept balik," ujar Bahlil. Bahlil mengakui impor gas mencapai 6 juta ton per tahun. Dengan adanya kebutuhan impor migas yang besar ini, maka dibutuhkan hilirisasi DME untuk menekan impor migas. Catatan Kontan, Presiden Joko Widodo meresmikan
groundbreaking atau peletakan batu pertama Proyek Hilirisasi Batubara menjadi Dimetil Eter (DME), di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatra Selatan. Proyek ini diharapkan dapat menekan impor LPG.
Baca Juga: Hilirisasi Perlu Pastikan Kesiapan Industri Domestik Presiden mengharapkan melalui proyek ini dapat menekan impor LPG yang sangat besar yaitu sekitar Rp 80 triliun dari total kebutuhan Rp 100 triliun. Untuk bisa dinikmati masyarakat dengan harga terjangkau, Pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 60 triliun - Rp 80 triliun. Melalui proyek hilirisasi batubara menjadi DME yang merupakan kerja sama PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina dan Airproducts and Chemicals ini, diharapkan dapat mengurangi subsidi dari APBN sekitar Rp7 triliun. Pemanfaatan DME sebagai bahan bakar energi memiliki keunggulan seperti mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon, nyala api yang dihasilkan lebih stabil, tidak menghasilkan polutan particulate matter (PM) dan nitrogen oksida (NOx); tidak mengandung sulfur serta pembakaran lebih cepat dari LPG. Adapun, Kontan mencatat Impor minyak dan gas (migas) Indonesia terus menanjak. Nilainya bahkan mencapi Rp 450 triliun per tahun dihabiskan untuk impor migas, terutama untuk kebutuhan liquefied petroleum gas (LPG).
Baca Juga: Emiten Batubara Kompak Menggenjot Produksi Kontan mencatat, nilai impor migas Indonesia pada Juli 2024 tercatat US$ 3,56 miliar, atau meningkat 8,78% dibandingkan Juni 2024 dan naik 13,59% dibandingkan Juli 2023. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan devisa negara setiap tahun keluar kurang lebih sekitar Rp 450 triliun untuk membeli migas, khususnya LPG.
Menurut Bahlil, impor migas yang membengkak ini disebabkan konsumsi LPG Indonesia kurang lebih sekitar 7 juta ton dan industri dalam negeri hanya memiliki kapasitas produksi 1.9 juta ton saja sehingga sisanya impor untuk memenuhi kebutuhan LPG masyarakat.
Baca Juga: Dorong Hilirisasi, Jokowi Singgung Timah dan Batubara Dihubungi Kontan, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, tahun 2023 nilai impor migas US$ 34.123 juta atau setara Rp 505 triliun, dengan impor LPG 2023 US$ 4.155 juta kurang lebih Rp 61,5 triliun (kurs Rp 14.800). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli