KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan berharap Undang-Undang No. 04 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) tidak direvisi. Menurutnya, belum ada hal yang mendesak untuk direvisi. Menteri Jonan bilang, saat ini yang terpenting dalam dunia usaha pertambangan adalah kepastian usaha. Lagi pula UU Minerba belum genap berumur 10 tahun. Namun, Jonan menyerahkan hal itu kepada DPR, lantaran revisi UU Minerba merupakan inisiatif dari DPR.
“Kalau saya lihat, kalau memang tidak terlalu medesak apakah perlu sekarang. Jadi UU Minerba ini belum 10 tahun lho.
Masa mau diubah lagi? Pasti, kalau mengubah lagi ada yang senang ada yang tidak senang. terus
gimana?” ungkap Jonan saat ditemui di Hotel Wesin, Jakarta, Rabu (11/4). Kalaupun perlu diubah, kata Jonan, UU Minerba harus bisa menyenangkan semua pihak. Asal tahu saja, saat ini DPR melalui Komisi VII masih intens membahas RUU Minerba. Pembahasan itu malah lebih sering ketimbang pembahasan RUU Migas. Hal itu sebelumnya dikatakan oleh Satya W Yudha yang pada Maret 2018 masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisis VII. “RUU Minerba ditargetkan bisa selesai pada Juni – Juli 2018 ini,” kata Satya beberapa waktu lalu. Sesuai dengan draf RUU Minerba 24 Januari 2018 yang diperoleh oleh Kontan.co.id, banyak perubahan signifikan dalam UU Minerba sebelumnya. Yang menarik adalah berkaitan dengan kebijakan insentif fiskal bagi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Di dalam Pasal 103 draf RUU Minerba itu disebutkan, pemegang IUP atau IUPK yang melakukan pengolahan dan pemurnian sendiri atau smelter, serta melakukan peningkatan nilai tambah batubara lewat pembangunan PLTU akan mendapat insentif fiskal dan non fiskal. Insentif non fiskalnya berupa hak perpanjangan izin operasi secara langsung selama 20 tahun. Juga, mendapatkan perpanjangan lagi selama 2x10 tahun. Bahkan, tidak mendapat pengurangan luas wilayah saat mendapatkan perpanjangan izin operasi. Satya bilang, akan ada insentif untuk perusahaan pertambangan yang melakukan hilirisasi. “Bentuk insentifnya biar orang semangat.
Kan sekarang kita ngomongin hilirisasi buktinya mana? Makanya sekarang posisi RUU itu harus dengan semangat supaya memudahkan investasi, merealisasikan pertumbuhan industri,” terangnya. Selanjutnya, untuk Pasal 170, disebutkan baik Kontrak Karya (KK), IUP dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian paling lama dua tahun sejak UU Minerba diundangkan. Juga, untuk yang sedang membangun dapat melakukan penjualan produk dan hasil pengolahn dan pemurnian dalam jumlah tertentu paling lama dua tahun sejak diundangkan, serta membayar bea keluar.
Sementara untuk Pasal 112 mengenai kewajiban divestasi saham 51% tidak menjabarkan mengenai waktu penyelesaian divestasi itu. Padahal di UU Minerba saat ini, kewajiban divestasi saham 51% selambat-lambatnya diserahkan lima tahun setelah masa produksi. Malahan di draf RUU Minerba ini disebutkan untuk KK, IUP dan IUPK yang tambangnya terintegarasi
smelter dan PLTU divestasinya bisa dilakukan 10 tahun sejak kegiatan penambangan berlangsung. Pasal lainnya yang berubah adalah Pasal 129 yang menyebut pemegang IUPK OP untuk pertambangan mineral dan batubara wajib membayar sebesar 5% untuk pemerintah pusat dan 10% kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. Padahal sebelumnya, ditetapkan 1% untuk pemerintah pusat dan 2,5% untuk pemerintah daerah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi