Pada ajang KTT ASEAN ke-19 dan KTT terkait di Nusa Dua, Bali yang masih berlangsung sampai hari ini, KONTAN berkesempatan bertemu dan menanyakan beberapa ganjalan soal liberalisasi perdagangan. Berikut nukilannya: Bagaimana Indonesia memanfaatkan keketuaan ASEAN tahun ini yang hampir berakhir di sektor perdagangan? Keketuaan ini harus dimanfaatkan untuk menunjukkan wibawa kita mengedepankan semangat sentralitas ASEAN. Ini relevan khususnya di tengah kondisi global yg penuh kekhawatiran. Kemarin, pembicaraan banyak soal ekonomi global, mengalir dari pembicaraan sebelumnya di G20 dan APEC. Mood di APEC dan G20 agak suram.
Keketuaan ini juga dipakai untuk menguatkan diri kita sendiri, bagaimana memperkuat domestik perdagangan, perdagangan di dalam negeri (intra trade), juga diversifikasi ekspor. Kalau ngomong pasar domestik, pendekatannya esensial untuk beberapa hal seperti UKM. UKM-UKM kita tidak punya akses ke perbankan tak seperti UKM di Singapura dan Malaysia. Akses mereka lebih mudah dan bunga lebih murah. Sekarang UKM kita ke bank bunganya 10%-17%, sedangkan Singapura dan Malaysia 1%-3%. Itu secara langsung maupun tidak meningkatkan daya saing mereka. Nah, ini bagaimana penyikapannya ke depan terutama untuk perdagangan dalam negeri. Bagaimana melakukannya di tengah integrasi ekonomi kawasan dan global? ASEAN sekarang punya 6 perjanjian FTA, dengan China, Korsel, Jepang, Australia, New Zealand, dan India. Tapi sesama anggota ASEAN itu berbeda paradigmanya, sejauh mana mereka mau mempercepat integrasi dan menjalankan
free trade itu. Kalau kita, jujur saja, mungkin sulit kalau daya saing kita kurang bersaing dengan negara-negara lain yang lebih maju di ASEAN dan kita mengetahui bahwa kita belum bisa menempatkan barang dan jasa dari Indonesia yang bisa berskala besar. Begini, semangat integrasi global itu tinggi sekali. Jadi di waktu yang sama, kita juga harus mengukur parameter yang harus dipenuhi untuk bisa memperbaiki daya saing kita. Sulit kalau industri tidak bisa berkompetisi. Tadi Bapak bilang, ekonomi kita sulit bersaing. Bagaimana kita bisa langsung membuka ekonomi dan meliberalisasi perdagangan? Bukankah kita seharusnya memproteksi dulu dengan kondisi seperti ini? Tak semua kita kalah, ada yang kita kompetitif ada juga yang kita kurang kompetitif. Tapi kesepakatan perdagangan bebas ini sudah sejak 1994, dari Bogor Goals. Pak Harto itu orang yg pertama menyuarakan kita harus melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi. Semestinya itu kan ditindaklanjuti dengan proses persiapan, tapi mungkin kita tak secanggih negara lain. Tapi itu bukan berarti kita mau meniadakan interaksi dengan komunitas global. Ini PR di dalam negeri: bagaimana kita bisa lebih memperkuat. Tapi ke depannya saya setuju dengan anda, kita tak akan mau sembarangan, makanya kita ambil sikap yang tegas bahwa Indonesia tak masuk Trans Pacific Partnership. Nomor satu, kita belum tahu apakah TPP membawa keuntungan, dan kayaknya sulit untuk melihat keuntungan pada saat ini. Apakah konsep Regional Comprehensive Economic Partnership atau Asean plus plus bisa bermanfaat buat Indonesia? Itu sih bagian dari ASEAN Community. Kita konsisten, sudah amanah, tapi dengan beberapa perkecualian. Dari sisi investasi kita tidak bisa buka pintu selebar yang diinginkan oleh mereka. Makanya kita mencatat reservasi mengenai beberapa hal. Jadi ada beberapa hal atau sektor yang tak bisa kita legowokan. Seperti? Misalnya pos. Sudah ada UU yang membatasi kepemilikan asing tidak boleh lebih dari 49%. Siapapun yang masuk dengan saham lebih dr 49% harus mendivestasikan dalam dua tahun ke 49%. Itu sangat idak sepadan dengan semangat ASEAN. Atau hortikultura yang dibatasi 30% bahkan retroaktif. Ini pun tidak sepadan dengan semangat liberalisasi ASEAN, tapi sangat bisa dimengerti. Sebab kita juga mencatat pendapatan per kapita negara-negara ASEAN berbeda-beda. Proses politik juga agak berbeda. Jadi kita harus pastikan mereka peka dengan kenyataan yang ada di dalam negeri. Mungkin di negara-negara tertentu mereka tak perlu hadapi anggota DPR yang secermat yang ada di sini. ASEAN semangat memperbaiki UKM. Tapi di Indonesia sendiri UKM menghadapi masalah. Misalnya akses ke perbankan dan suku bunga yang tinggi. Apa kita bisa mengatasi masalah di luar kalau yang di dalam negeri belum selesai? Saya optimistis kita bisa. Sebentar lagi peringkat kita akan berubah masuk ke domain investasi atau investment grade. Ini akan menurunkan ongkos Credit Default Swap. Jika CD turun, secara langsung dan tidak langsung akan turunkan struktur biaya. Kalau struktur biaya turun, tentunya bunga dolar, bunga untuk pinjam dolar luar negeri akan turun. Tentunya nanti bunga rupiah juga akan turun. Itu akan mempengaruhi bankir untuk bisa memberikan pinjaman sehingga mereka menurunkan bunga kepada debitur. Isu kedua adalah
net interest margin (NIM) yaitu perbedaan antara biaya dana dengan bunga yang dikenakan ke debitur. Bagaimana seandainya nanti proyek konektivitas sudah jadi dan makin menghubungkan antara negara ASEAN. Akan ada ancaman, perdagangan lintas batas makin besar bahkan penyelundupan? Kita tidak bisa mengintegrasikan diri kita sendiri dengan tetangga kalau di dalam diri kita sendiri itu belum dibenahi. Saya masih punya pandangan kita masih harus membenahi diri dulu untuk membangun intra konektivitas, bukan inter konektivitas. Misalnya begini, kalau semen di Jakarta itu baru Rp 50.000 per sak, di Keerom, kabupaten yang berbatasan dengan Papua Nugini itu harganya Rp 1,2 juta .
Nggak masuk akal kan? Itu bukan karena ilmu kadalnya pedagang, tapi lebih karena infrastruktur, karena pelabuhan di Papua itu kurang, transportasi dari pelabuhan ke Keerom itu kurang, ya itu harus disikapi. Baru kalau itu sudah, kita bisa ngomong konektivitas antara negara anggota ASEAN , apakah itu Indonesia dengan Brunei, Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Singapura. Baru setelah itu kita bisa membangun jembatan dari Batam ke Singapura, dari Medan ke Penang, dari Dumai ke mana. Namun saya yakin meskipun kita ngomong semangat untuk kepentingan Indonesia, itu juga semangat konektivitas regional. Nggak mungkin akan terjadi konektivitas regional tanpa konektivitas di dalam negeri.
They belong to each other. Saat ini kondisi ekonomi dunia masih bergejolak dan ini dikhawatirkan mempengaruhi ekspor. Kementerian Perdagangan sendiri memprediksi berapa ekspor tahun depan? Sulit saya bilang untuk mencapai US$ 200 miliar tahun depan. Kalau tahun ini kelihatannya kita
on target. Makanya kita tekankan untuk mendiversifikasikan ke pasar-pasar non tradisional. Di samping itu, supaya ekonomi kita tidak ter-
expose terhadap kondisi ekonomi Amerika dan Eropa, kita harus meningkatkan permintaan domestik. Kita akan upayakan, kalau ekspor bisa dijaga sampai US$ 200 miliar itu alhamdulilah. Tapi ekonomi itu kan rumusnya G + I + C + X-M. Kalau X atau ekspornya nol lalu M atau impornya juga nol, enggak masalah kan? Kalau X-nya 1.000 tapi M-nya 2.000 ya sama juga bohong. Kalau X-nya 1.000, M-nya di bawah 1.000 ya alhamdulilah. Nah M-nya ini yang harus disikapi. Bukannya saya anti impor ya, tapi jangan sampai ada unsur ketergantungan dalam perdagangan negara. Jangan sampai ada pemikiran bahwa kita harus pakai produk A dari negara A. Yang benar, bagaimana kita bisa meningkatkan daya saing di dalam negeri supaya A bisa diproduksi di dalam negeri oleh industri. Kalau itu sudah bisa, konsumsi di dalam negeri akan meningkat sehingga impor berkurang.
Menurut Bapak, impor di sektor mana saja yang harus diwaspadai? Bukan kentang. Tapi saya melihat, apapun yang kita yakin kita bisa produksi di dalam negeri itu harus kita batasi. Sekarang mau enggak anak-anak kalian cuma jualan batubara dan bauksit saja 20 tahun lagi? Kalau bisa kita jualan iPad, bisa bikin barang-barang yang ada nilai tambahnya. Kalau kita arahnya ke sana, barang-barang yang kita impor selama tidak bisa diproduksi negeri itu adalah untuk kepentingan produksi barang yang ada nilai tambahnya. Ini
completely okay. Harus ada gebrakan bagaimana kita mengupayakan bagaimana barang-barang baku yang keluar dari negara kita sendiri bisa bernilai tambah. Yang paling klasik adalah bauksit, keluar dari tanah Rp 1 perak. Lalu dikirim ke Australia, ada
smelter alumina di sana, olah jadi Rp 15. Lalu ini dikirim lagi ke Jepang yang punya
smelter alumunium. Dari alumina, Jepang bikin menjadi alumunium, harganya Rp 40. Panci-pancinya dikirim ke Tanah Abang Rp 40, jadi kita kehilangan Rp 39 perak.
Do you want your future to be like that? Adakah kebijakan riil untuk mengatasi masalah ini? Ada dong. Contoh hilirisasi kelapa sawit, yang sudah kelihatan pembangunan pabrik oleochemical. Saya sudah meresmikan beberapa pabrik. Tapi apa itu skalanya cukup? Belum. Sama dengan bauksit, sama dengan kakao. Kemarin saya ke Honolulu ketemu Mars, produsen coklat. Saya terakhir bertemu mereka 1,5 tahun lalu, minta mereka bangun pabrik coklat di Indonesia. Mereka sudah bangun 1 pabrik dan sekarang mau bangun pabrik kedua. Sekarang Bapak sudah memimpin Kementerian Perdagangan selama 3 minggu. Bagaimana arah perdagangan yang Anda ambil terhadap China? China itu mitra perdagangan kita yang terbesar. Tahun lalu US$ 32 miliar, tahun ini US$ 45-US$ 50 miliar. Arahnya perdagangan dalam tiga tahun ke depan itu mereka mau US$ 80 miliar, keluar dan masuk. Saya menyampaikan dan akan terus menyampaikan ke siapa pun bahwa proses perdagangan kita dengan siapa pun, itu harus ada keseimbangan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can