Jakarta. Sejumlah kendala teknis mengancam kesuksesan program
tax amnesty. Masalah-masalah itu muncul di luar dugaan pemerintah, ketika merancang undang-undang dan aturan turunan lainnya. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui, permasalah utama yang dihadapinya adalah masih banyak petugas pajak yang belum memahami aturan
tax amnesty. Padahal, mereka dituntut untuk bisa menjelaskannya kepada masyarakat mengenai program itu. Masalah ini sangat krusial, karena masih banyak masyarakat yang masih bingung dengan aturan
tax amnesty. Akibatnya, hingga akhir Agustus realisasi orang yang ikut
tax amnesty masih rendah.
Sri Mulyani mengungkapkan, kondisi itu memang tidak bisa dihindari. Sebab, sulit bagi petugas pajak untuk bisa memahami seluruh aturan dalam waktu cepat. Sebagai catatan UU
Tax Amnesty baru selesai diundangkan awal Juli 2016 lalu, setelah itu baru disusul sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Tidak semua pegawai pajak memiliki kemampuan yang sama dalam memahami aturan. Itu yang membuat banyak penjelasan berbeda mengenai aturan pengampunan pajak di lapangan. "Apalagi, UU
Tax Amnesty ini sangat spesifik, detil begitu juga dengan aturan lainnya," kata Sri Mulyani. Di sisi yang lain, para petugas pajak juga dibebani target untuk merealisasikan penerimaan negara, seperti yang tercatat dalam APBN-P 2016. Jadi, tugas mereka terbelah di satu sisi mengejar target Rp 165 triliun dari
tax amnesty, dan target di atas Rp 1.500 triliun penerimaan negara. Menyadarkan konglomerat Kendala lain yang muncul adalah, masih rendahnya warga negara yang memiliki aset besar ikut
tax amnesty . Para konglomerat ini masih belum yakin dengan program
tax amnesty dengan berbagai alasan. Terkait hal ini, Sri Mulyani mengaku sudah membentuk satuan tugas (satgas) atau
task force untuk melakukan pendekatan dengan konglomerat ini. Termasuk dengan membuat PMK baru agar bisa memfasilitasi konglomerat pemilik perusahaan cangkang, termasuk membuat suaka pajak bagi konglomerat pemilik perusahaan cangkang. Aggota Komisi XI dari Fraksi Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Eddy Susetyo mengatakan, banyak hal teknis yang belum diatur di aturan tentang
tax amnesty. Salah satunya, jika sesorang memiliki aset berupa tanah lebih dari 50 hektar.
Dia sulit untuk memasukan asetnya dalam harta
amnesty, karena menurut undang-undang agraria, setiap orang hanya boleh memiliki aset berupa tanah di bawah 50 hektar. Selain itu, banyak juga masyarakat yang mengeluhkan sulit ikut
tax amnesty karena tidak mampu membayar uang tebusannya. Bahkan menurutnya, ancaman terbesar juga datang dari negara tetangga, Singapura. Dalam beberapa kesempatan sejumlah pihak dari Singapura bertemu dengan pengusaha Indoensia, mereka membujuk agar tidak merepatriasi hartanya. Dengan berbagai kendala itu, pemerintah diminta untuk segera berhitung. terutama terkait target penerimaan pajak yang kemungkinan tidak akan tercapai. Hal ini akan menjadi risiko fiskal tersendiri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto