Menteri Susi: Nyontek negara tetangga agar maju



JAKARTA. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, memberikan cara cepat memajukan sektor maritim di Indonesia. Dalam pidato kuncinya di Focus Group Discussion yang diadakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Susi menyatakan bahwa seharusnya Indonesia "menyontek" saja negara tetangga dan tidak membuang waktu melakukan banyak kajian.

"Kalau mau Indonesia kuat di pasar internasional we have to follow our neighbour. Stop untuk kajian undang-undang ini-itu. Just adopt what out neighbour doing. To be early, to be there faster than we should. Kalau kita mau bahas kagi, mau kaji lagi, ini pro, ini kontra, single market is there. Where are we?" kata Susi di Gedung Radius Prawiro, kompleks Bank Indonesia, Kamis (27/11).

Ketidaksiapan Indonesia, menurut Susi, berpotensi membuat negara padat penduduk ini hanya menjadi pasar. Apalagi, jika para cendekia di negara ini bersikeras mengkaji ulang berbagai aturan. Pasalnya, yang kini diperlukan oleh pelaku usaha adalah tindakan nyata.


"Saya takut, Pak, kalau lihat nanti Indonesia dengan 250 juta population becomes very huge market but we produce nothing. Kita hanya dijadikan pasar saja Tiongkok masuk ke Myanmar, Thailand, ke mari. Kita sedang adanya lembaga keuangan mau membiayai tapi di satu sisi kita harus mempersiapkan lingkungannya," imbuh Susi.

Lantas, seperti apa aturan yang diterapkan oleh negara tetangga? Susi menyontohkan aturan di Malaysia. Di sana, pihak yang ingin berusaha atau menanamkan modalnya di sektor perikanan mendapatkan berbagai insentif menarik. Hal ini belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan berbagai pihak terkait.

"Di Malaysia, kita mau usaha perikanan itu nomor satu mereka bikin tulisan advertising. Kedua, free of any tax seven to twelve years. Kemudian, reward on any re-investment. Kemudian, kredit untuk perikanan hanya 3%. Indonesia, mau bibit daftar, bayar. Ada fee, izin prinsip 0,5%, itu resmi. Kemudian IMB, ada per-square meter. Kemudian ada final tax PPN kalau membangun sendiri 4,5%. Kalau pakai kontraktor 10%. Kita impor mesin, mesinnya di Bea Cukai musti bayah PPh 22. Kemudian kredit, at least 10%-12%," pungkas Susi menguraikan. (Tabieta Diela)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia