Menuju reformasi perpajakan jilid empat



Memasuki bulan Maret dan April, biasanya penduduk Indonesia akan sibuk dengan salah satu kewajibannya, yaitu membuat laporkan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) atas penghasilan yang diperoleh tahun sebelumnya. Peranan penerimaan perpajakan sangat krusial dalam membiayai pengeluaran negara. Ini seiring dengan kenaikan laju pendapatan per kapita penduduk Indonesia, hingga mencapai negara dengan tingkat penghasilan menengah atas, maka terdapat tuntutan untuk mencapai standar welfare state.

Untuk itu, ada perluasan akses masyarakat terhadap berbagai kebutuhan dasar terutama kesehatan, pendidikan maupun bentuk kesejahteraan lai. Guna membiayai keperluan tersebut, sangat dibutuhkan peranan penerimaan perpajakan yang sangat kuat.

Meningkatnya kontribusi pendapatan negara merupakan hasil pelaksanaan reformasi perpajakan pertama sekitar pertengahan tahun 1980-an. Reformasi pertama, ini cukup fenomenal mengingat terdapat perubahan yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pemungutan pajak secara modern di Indonesia.


Setelah itu, reformasi kedua dilakukan pada awal tahun 2000-an dengan mengubah struktur organisasi, termasuk perilaku sumber daya manusianya.

Reformasi ketiga dilakukan sejak tahun 2015 dengan memperbaiki struktur penghasilan pengelola keuangan negara, terutama dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum pemberian tunjangan kinerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Setelah berjalan selama hampir empat tahun, perlu dilihat lagi kinerja pendapatan penerimaan perpajakan, mengingat tantangan ke depan semakin besar. Sampai dengan Februari 2019 penerimaan negara mencapai Rp 217,21 triliun atau setara 10% dari target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.

Sementara itu, realisasi belanja negara sampai Februari 2019 mencapai Rp 271,83 triliun atau setara 11% dari pagu APBN 2019. Jika melihat siklus APBN tidak terlihat perbedaan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Pada awal-awal tahun, persentase penyerapan belanja pemerintah lebih tinggi ketimbang pendapatan negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa siklus penerimaan perpajakan selalu lambat di awal-awal tahun?

Salah satu penyebab rendahnya pencapaian target penerimaan pajak tahun ini adalah besarnya restitusi, terutama restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari para eksportir. Restitusi pajak merupakan konsekuensi hak Wajib Pajak yang melaporkan pembayaran pajaknya lebih besar daripada pajak yang seharusnya mereka bayar.

Selama bulan Januari Februari 2019, restitusi tumbuh 42,55% sehingga berdampak terhadap lambatnya penerimaan pajak. Tekanan dari restitusi pajak akan terus terjadi sejalan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 tahun 2018. Beleid ini merupakan akselerasi pengurusan restitusi PPN, terutama bagi pengusaha ekspor karena pemerintah ingin mendorong dunia usaha memiliki cashflow yang cukup dan hak mereka tidak tertahan lebih lama.

Berdasarkan industrinya, industri sawit melakukan restitusi mencapai Rp 4,9 triliun, pertambangan Rp 3,3 triliun, industri logam dasar Rp 2,9 triliun, industri kendaraan dan industri kertas, masing-masing sebesar Rp 1,9 triliun.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk mengembalikan hak wajib pajak tersebut harus dilakukan dengan pengujian kepatuhan pajak. Dalam pelaksanaannya, pengujian kepatuhan dilakukan dengan pemeriksaan pajak, yang pada akhirnya proses restitusi bisa memakan waktu yang cukup lama, bahkan bisa lebih dari satu tahun.

Opsi pengembalian restitusi pajak dipercepat, termaktub dalam UU KUP, akan tetapi pelaksanaannya masih terhambat akibat belum adanya kemauan untuk memberikan pelayanan yang melebihi paradigma lama. Paradigma lama yang masih melekat adalah kedudukan fiskus di atas Wajib Pajak.

Permohonan restitusi, yang seharusnya lebih merupakan pelayanan, menjadi alasan untuk disahkannya pelaksanaan pemeriksaan pajak. Sebagai akibatnya, terkesan yang dilakukan pemeriksaan adalah Wajib Pajak yang itu-itu saja, meskipun sistem administrasi pajak mengakibatkan Wajib Pajak tersebut terus-menerus mengajukan restitusi.

Jika ditelusuri lebih lanjut, restitusi yang membebani penerimaan negara pada tahun berjalan berasal dari permohonan restitusi tahun sebelumnya. Meskipun hal tersebut sesuai dengan ketentuan UU perpajakan tetapi DJP masih belum berhasil mengubah paradigma lama.

Saat ini, telah berkembang pendekatan kolaboratif dalam perpajakan, terutama dalam menangani perusahaan-perusahaan besar dan perpajakan internasional, sebagaimana telah direkomendasikan oleh IMF, OECD, PBB dan Bank Dunia. Pendekatan yang bersifat kolaboratif, yakni kedudukan fiskus dan Wajib Pajak adalah seimbang, harus dikedepankan.

Pendekatan kolaboratif bermakna terciptanya suatu proses interaksi antara dua belah pihak, fiskus dan Wajib Pajak, sehingga tidak tercipta lagi hubungan yang bersifat kaku. Biasanya pendekatan ini dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar dan seharusnya bisa diperluas kepada perusahaan-perusahaan kecil.

Atau bisa diperluas kepada kewajiban perpajakan ataupun bentuk pungutan lainnya. Sistem administrasi perpajakan Indonesia mengenakan berbagai macam bentuk, mulai dari berbagai bentuk pajak sampai dengan bentuk pungutan lainnya.

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diperkenankan berdasarkan ketentuan pasal 23A UUD 1945. Di industri pertambangan, yang bisa dikenakan berbagai jenis pajak dan pungutan lainnya dalam bentuk royalti atau industri telekomunikasi yang harus juga membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio sebagai salah satu sumber terbesar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara.

Lebih sulit lagi, pengadministrasian PNBP ini tidak dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu) , tetapi tersebar di seluruh kementerian atau lembaga (K/L) pemerintah. Bagaimanapun juga, berbagai pajak dan pungutan menambah beban biaya maupun beban pengadministrasian bagi perusahaan.

Seharusnya, semangat kolaboratif ini juga berarti terdapat pelayanan secara komprehensif terhadap berbagai bentuk pajak dan pungutan lainnya. Sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Inggris dengan Inland Revenue atau Amerika Serikat dengan Internal Revenue Services. Penyederhanaan berbagai jenis pajak dan pungutan sampai dengan pendekatan yang lebih bersifat kolaboratif merupakan tantangan yang dihadapi oleh DJP di masa mendatang.

Wacana tentang pembentukan Badan Perpajakan Nasional seharusnya bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut. Bukan sekadar menambah kekuatan yang lebih kuat. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mempersiapkan reformasi perpajakan untuk yang keempat kalinya.

Benny Gunawan Staf Pengajar di Politeknik Keuangan Negara STAN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi