Menuju Satu Data Pertanian di Indonesia



KONTAN.CO.ID - Data pertanian yang akurat adalah sumber terpenting terciptanya kebijakan yang efektif. Berhasil atau tidaknya kebijakan soal pangan dan pertanian dapat dinilai dari sejauh mana masyarakat merasakan manfaat dari kebijakan itu.

Sejauh ini, ketahanan pangan selalu dinilai pada tercapainya aspek keterjangkauan harga, ketersediaan dan kemudahan akses. Namun, apakah seluruh masyarakat Indonesia sudah merasakan ketiga hal ini secara merata?

Beberapa waktu lalu, perdebatan mengenai data pertanian di Indonesia sempat terjadi antara Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Menteri Pertanian sebelumnya Amran Sulaiman menuding bahwa data lahan sawah yang dikeluarkan BPS adalah data yang kurang lebih 90% salah. Data luas lahan sawah merupakan data yang berperan penting sebagai dasar perhitungan produksi padi nasional.


Sejatinya, pengumpulan statistik pertanian di Indonesia sudah dimulai sejak lama dan memiliki sejarah yang panjang dan melibatkan Kemtan dan BPS dalam penyusunannya. Sejarah dimulai dari terbitnya Instruksi Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri No. IN/05/MENKUIN/1/1973 tanggal 23 Januari 1973. Aturan ini meminta adanya penyeragaman data dalam perhitungan produksi padi dan palawija nasional, termasuk menugaskan BPS sebagai koordinator.

Dalam praktiknya, angka produksi tanaman pangan, dalam hal ini padi merupakan hasil kali antara luas panen dan estimasi produktivitas lahan. Pengumpulan data luas panen dilakukan oleh Dinas Pertanian melalui kegiatan Statistik Pertanian (SP) di bawah tanggung jawab Kemtan. Sedangkan data produktivitas dilakukan melalui Survei Ubinan untuk memperoleh estimasi rata-rata produktivitas dan hal ini menjadi tanggung jawab BPS.

Namun faktanya, akurasi total angka produksi tanaman pangan yang pada akhirnya dipublikasikan BPS sangat dipengaruhi oleh kualitas informasi luas panen yang diberikan Kemtan. Informasi luas panen ini diyakini sebagai penyebab utama sehingga hasil data cenderung over estimasi, hal ini dikarenakan perhitungan luas sawah dilakukan dengan cara pandangan mata atauĀ eye-estimate. Persoalan mengenai isu konflik kepentingan kerap muncul untuk mengevaluasi kinerja keduanya demi peningkatan produksi.

Survei ubinan yang dilakukan oleh BPS juga acap kali dinilai sarat dengan isu over estimasi karena menggunakan puluhan ribu sampel yang membuka peluang terjadinya kesalahan dalam penghitungan. Namun, isu ini lebih dikaitkan dengan data luas panen yang dilakukan oleh Kemtan karena data yang diambil tidak berbasis pengukuran, terutama karena melaluiĀ eye-estimate.

Tidak akurat perhitungan ini berimbas pada adanya bias indeks pertanaman (IP) yang jika melihat kondisi irigasi Indonesia harusnya berada di kisaran 1,3 - 1,4, namun karena adanya data luas panen dan estimasi produktivitas yang berlebih menjadi berada di angka 2 untuk IP tahun 2018.

Sudah banyak studi yang membuktikan adanya over estimasi pada data pertanian di Indonesia. Salah satunya pada tahun 2012, yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meminta BPS melakukan Pendataan Industri Penggilingan Padi (PIPA) untuk menghitung produksi padi nasional di tahun 2011-2012.

Hasil PIPA menunjukkan bahwa produksi padi nasional di periode tersebut hanya sebesar 32,87 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan data produksi padi lewat metode yang selama ini digunakan yaitu mencapai 67,26 juta ton GKG.

Metode baru KSA

Lantaran gencarnya isu over estimasi tersebut, akhirnya BPS menghentikan sementara rilis produksi tanaman pangan sejak 2016 dan mulai menggunakan Kerangka Sampel Area (KSA) untuk menghitung luas panen tanaman padi, yakni rilis pertama KSA dilakukan di tahun 2018 lalu. Berdasarkan KSA, luas panen padi di Indonesia periode Januari hingga September 2018 menunjukkan angka 9,54 juta hektar (ha).

Pada dasarnya, KSA merupakan metode yang dikembangkan BPS bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Pengumpulan data melalui KSA dilakukan dengan menggunakan area segmen sebagai sampel perhitungan. Implementasi KSA di Indonesia sendiri menggabungkan peta luas baku lahan sawah yang diperoleh dari teknologi penginderaan jarak jauh (citra satelit) sebagai kerangka pengambilan sampel dan pemanfaatan perangkat Android untuk observasi lapangan.

Angka baru yang dikeluarkan lewat KSA mengindikasikan adanya kelebihan data produksi sebesar 32% karena subjektivitas dalam pengukuran luas panen dengan menggunakan metode lama. Hasil dari KSA nyatanya dapat memberikan prediksi potensi luas panen untuk tiga bulan setelahnya. Hal ini tentu sangat membantu dalam pengambilan kebijakan yang antisipatif.

Metode KSA memang bukanlah metode paling sempurna. Untuk itu, perbaikan masih harus terus dilakukan. Hal ini ternyata sejalan dengan inisiatif dari Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dilantik Syahrul Yasin Limpo. Perbaikan data pangan merupakan tugas pertama yang ia janjikan untuk pembenahan pertanian dalam 100 hari kepemimpinannya.

Mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini menyadari bahwa semua data harus bersumber pada data BPS. Hal ini juga sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi untuk memperbaiki data pangan Indonesia. Langkah awal pentingnya kerjasama antar badan pemerintah ditunjukkan dengan kunjungan pertama kalinya Syahrul ke BPS belum lama ini. Kunjungan ini seperti menunjukkan adanya iktikad baik dari Kemtan untuk bekerja sama dengan BPS.

Ke depannya, kerjasama antar semua pihak terkait merupakan hal yang terpenting untuk menghasilkan data pangan Indonesia yang akurat. Sudah seharusnya perhitungan angka produksi yang memerlukan data luas panen padi dilakukan melalui perhitungan yang seobjektif mungkin. Konflik kepentingan, sifat saling menyalahkan dan saling tuduh harus ditinggalkan supaya bisa lebih fokus untuk membenahi data yang lebih baik. Demi menghasilkan data yang tidak bias, Kemtan dapat dibantu oleh BPS dalam mengkoordinasikan lebih lanjut data pertanian di Indonesia.

Selain itu, perlu diantisipasi pula data luas panen dan produksi beras nasional untuk tahun 2019 melalui metode KSA yang akan dikeluarkan di awal Desember tahun ini. Data ini penting untuk dijadikan acuan penyusunan kebijakan pangan mendatang.

Saat ini, data KSA masih terbatas hanya digunakan untuk menghitung komoditas padi. Replikasi KSA sebaiknya juga dilakukan untuk komoditas pangan lainnya dengan menyesuaikan karakteristik tanaman yang ada. Hal ini penting agar over estimasi akibat pengukuran luas panen tidak terjadi pula pada komoditas pangan lain seperti jagung dan kedelai. Di masa mendatang, metode KSA juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing).

Penulis : Galuh Octania Permatasri

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti