Menurunkan rasio defisit fiskal



Kementerian Keuangan mengumumkan kinerja semester I-2019 APBN. Pendapatan negara tumbuh 7,84% yoy dengan kenaikan pajak 5,42% yoy. Sementara pada semester I-2018, pendapatan negara masih naik 16,05% yoy dengan kenaikan pajak 14,27% yoy. Namun realisasi belanja negara naik dari 5,68% yoy semester I-2018, menjadi 9,59% yoy di semester I-2019.

Kondisi tersebut berdampak pada melebarnya defisit fiskal terhadap PDB. Rasio defisit fiskal semester I-2019 tercatat 0,84%, atau melebar dari 0,74% per semester I-2018. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi defisit fiskal akhir tahun berpotensi mencapai 1,93% dari PDB atau di atas target APBN 2019 yakni 1,84% dengan prediksi penerimaan pajak mengalami shortfall sebesar Rp 143 triliun.

Apakah rasio defisit fiskal berpotensi menjadi ancaman bagi ekonomi domestik? Secara umum, tidak. Meskipun demikian, Indonesia saat ini menghadapi masalah twin deficit atau defisit transaksi berjalan dan defisit fiskal. Risiko pelebaran defisit transaksi berjalan perlu dikompensasi dengan penurunan defisit fiskal guna menghambat kenaikan pembiayaan anggaran yang dapat membebani neraca transaksi berjalan.


Upaya tersebut memiliki tantangan karena kenaikan rasio defisit fiskal terjadi karena ada pendapatan negara turun. Hal itu adalah efek dari perlambatan ekonomi dunia dan kebijakan pemerintah yang membatasi impor demi menyusutkan defisit transaksi berjalan. Akibatnya, harga komoditas ekspor turun dan penerimaan bea keluar susut -50,3% yoy.

Sementara pembatasan impor mengakibatkan penerimaan bea masuk melambat 2,5% yoy dan pajak atas impor turun 1,1% yoy. Ruang penurunan rasio defisit fiskal pun berkurang karena kebijakan fiskal ekspansif guna menggairahkan pertumbuhan menjadi lebih krusial.

Maka sudah tepat jika pemerintah sedikit menaikkan proyeksi rasio defisit fiskal guna menopang momentum pertumbuhan. Namun, perbaikan pada sisi penerimaan negara berupa pajak, juga perlu segera dipercepat. Tujuannya agar kenaikan rasio defisit fiskal tidak menjadi persistent.

Dalam kondisi ekonomi yang belum optimal, opsi menaikkan tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak menjadi kurang efektif. Pasalnya, pemberian insentif fiskal, seperti tax holiday dan investment allowance kepada sektor riil diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan iklim bisnis.

Peningkatan rasio pajak sudah menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Upaya tersebut perlu diselaraskan dengan stimulasi sektor riil, terutama untuk sektor-sektor yang berorientasi ekspor dan bersifat labor intensive.

Upaya peningkatan konsumsi domestik juga perlu guna mempercepat pertumbuhan ekonomi. Jika ekonomi tumbuh tinggi, penerimaan pajak akan tumbuh lebih tinggi.

Upaya pemerintah yang perlu dipercepat, yakni pertama, tetap melanjutkan perluasan basis pajak. Setelah tax amnesty, pemerintah bisa fokus kepada usaha-usaha yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi digital.

Kedua, terus meningkatkan kepatuhan pajak, perbaikan pelayanan dan pengawasan. Antara lain dengan menambah layanan berbasis online serta percepatan pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja.

Ketiga, pembentukan SDM perpajakan berkompetensi unggul dan peningkatan perlindungan hukum bagi petugas pajak.

Tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan yang terbilang rendah, juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mampu dikonversi menjadi penerimaan pajak, masih di bawah potensi. Hal itu mengindikasikan terjadinya shadow economy yang menyebabkan kebocoran penerimaan pajak. Misalkan ada pendapatan kena pajak yang dilarikan ke luar negeri dan persaingan dari tax haven. Jadi harus ada penguatan kerjasama ekonomi antar negara.

Hanya melalui kerjasama solid antara pemerintah, penegak hukum, sektor riil dan antar negara, masalah kenaikan rasio defisit fiskal dapat diatasi. Namun perlu diperhatikan juga bahwa pelebaran rasio defisit fiskal tahun ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi ke depan. Kondisi itu bisa meningkatkan pendapatan negara dan berujung pada penurunan rasio defisit fiskal.♦

Faisal Rachman Economist, Office of Chief Economist Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi