KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengerjaan Proyek Gas Abadi Blok Masela belum juga menemui titik terang kapan bakal dimulai. Setelah Shell mundur, nama-nama perusahaan kelas kakap lain mulai bermunculan yang digadang-gadang akan menjadi pendamping Inpex. Di antaranya Pertamina, Petronas, dan ExxonMobil, lalu terbaru ada perusahaan migas asal China, PetroChina Company Ltd juga dikabarkan melirik investasi di Blok Masela. Sebelumnya Jokowi juga meminta agar pengerjaan Proyek Gas Abadi Blok Masela segera dimulai setelah tertunda akibat mundurnya Shell.
Maklumlah, proyek ini sebetulnya sudah akan dimulai dengan keterlibatan Shell dan Inpex sebagai pemegang saham. Namun, Shell memilih mundur yang membuat pengerjaan proyek ini kembali tertunda.
Baca Juga: Kenaikan Bunga dan Pelemahan Kurs Jadi Tantangan Pendanaan Transisi Energi Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa permasalahan di Blok Masela ini perlu menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Dia menjelaskan, mundurnya pelaksanaan proyek Masela ini utamanya disebabkan karena pemerintah mengubah kesepakatan sebelumnya di tengah jalan. Pengembangan yang sebelumnya disepakati menggunakan mekanisme terapung atau laut, kemudian diubah menjadi di darat. "Dalam konteks teknis dan bisnis tentu tidak sederhana perubahan tersebut, karena akan mengubah banyak hal termasuk keekonomian proyek harus dihitung ulang," jelas Komaidi, kepada Kontan.co.id, Rabu (23/11). Dihubungi secara terpisah, Direktur eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan hal serupa. Menurutnya, proyek Blok Masela ini berkali-kali diubah
plan of development (POD) serta perencanaan pengerjaannya. Kondisi inilah yang berakibat pada mundurnya Shell dari proyek Blok Masela. "Saya kira memang ini memberikan dampak luar biasa adanya perubahan ini terhadap pelaksanaan proyek. Setahu saya POD-nya belum ditandatangani pemerintah, yang terakhir ini masih direvisi lagi," sebut dia. Tak hanya itu, Blok Masela ini juga merupakan proyek yang membutuhkan dana yang cukup banyak. Mengutip catatan KONTAN, calon investor pengganti Shell di Blok Masela harus merogoh kocek sekitar US$ 1,4 miliar. Besaran investasi ini belum termasuk kebutuhan pendanaan sebesar US$ 6,3 miliar untuk lima tahun pertama pengembangan sebagai modal belanja. Selain itu, dengan adanya penambahan proyek Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS) pada proyek Masela maka ada potensi penambahan investasi sekitar US$ 1,2 miliar hingga US$ 1,4 miliar.
Baca Juga: Menteri ESDM Ungkap Tantangan Industri Migas di Era Transisi Energi Bersih Gelontoran dana yang tak sedikit itu disebut menjadi membuat Inpex kesulitan untuk mencari partner. Kondisi ini juga yang membuat Presiden Joko Widodo minta Pertamina untuk cip in ke dalam proyek Blok Masela ini.
"Saya yakin sih Pertamina kalau sudah disenggol Presiden mau gak mau harus turun tangan juga. Tapi kan karena proyek Blok Masela ini membutuhkan biaya yang besar," sebutnya. Di samping keruwetan Blok Masela, Mamit juga meminta agar SKK Migas bertindak tegas, supaya segera ada keputusan yang bisa diambil dari kelanjutan proyek ini. SKK Migas sebagai garda terdepan pengelolaan industri hulu migas Indonesia mesti bekerja keras untuk mencarikan solusi, dengan begitu, proyek ini bisa segera berjalan. "Tetap harus berusaha karena kan punya target, mereka ini tulang punggung dan garda terdepan pengelolaan hulu migas. Jangan teralu banyak kegiatan seremonial, tetapi bagaimana justru bisa menarik investasi di sektor hulu migas," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi